ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Tahun 2021, Kaltim Catat Perkawiinan Anak Sebanyak 1.089

March 1, 2022 by  
Filed under Kalimantan Timur

Share this news

Sosialisasi peran pengasuhan anak dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak di Provinsi Kalimantan Timur

SAMARINDA— Berdasarkan data perkawinan anak yang dihimpun Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag), tercatat ada 1.089 perkawinan anak.  Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkatn tahun 2020 sebanyak 1.159 anak.

Meski demikian, jauh sebelum pandemi, perkawinan anak memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita pada kegiatan Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022, berlangsung di Hotel Ibis Samarinda, Selasa (1/3/2022).

Dijelaskan data perkawinan anak di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan angka yang fluktuatif, yakni di Tahun 2018 sebanyak 953 anak, Tahun 2019 sebanyak 845 anak dan Tahun 2020 meningkat kembali sebanyak 1.159 anak.

Maraknya perkawinan anak, lanjut Soraya, menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke 2 di ASEAN dan ke 8 dunia untuk kasus perkawinan anak di Tahun 2018.

Menurut Soraya, perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak, seperti perspektif agama yang berpandangan menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina. Selain itu, perspektif keluarga yang berpandangan perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun sehingga tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap dilakukan. Selain itu juga  perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi. Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orangtua, keluarga dan masyarakat.

Dikatakan Soraya, pemerintah telah banyak berupaya untuk mencegah perkawinan anak terjadi, diantaranya mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan anak telah menjadi prioritas kebijakan pembangunan nasional di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020 – 2024);

Selanjutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk ke dalam tujuan ke 5 mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.

“Dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9% pada tahun 2030,” imbuh Soraya.

Soraya melanjutkan, dalam upaya perlindungan anak, selain upaya kuratif juga diperlukan upaya preventif dan promotif agar meminimalisir terjadinya kasus perkawinan anak.  Keluarga atau orang tua merupakan garda terdepan yang  berperan dalam mengasuh, mendidik dan membentuk karakter anak. Pengasuhan anak oleh orangtua merupakan salah satu kunci penting dalam sebuah keluarga yang akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak.

“Sementara DKP3A Kaltim menfasilitasi layanan informasi, konseling dan layanan rujukan terkait pengasuhan berbasis hak anak yang mudah diakses dan dikenal masyarakat melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Kaltim Ruhui Rahayu,” terang Soraya.

Ia berharap melalui kelembagaan Puspaga meningkatkan peran pengasuhan keluarga, meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera dan pemenuhan hak anak. (dell)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.