ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Di Balik Paceklik Premium di Berau

December 6, 2010 by  
Filed under Opini

Share this news

Oleh Yon A Udiono *)

Yon A Udiono

Yon A Udiono

Tak adakah “tangan tersembunyi” struktural yang bekerja, yang melecut terjadinya paceklik bahan bakar minyak di Berau hari-hari lalu? Saat SPBU-SPBU kehabisan stok, dan jeriken-jeriken warga yang menunggu kedatangan pasokan BBM dari Depo Pertamina di Kota Tarakan tampak berbaris?
Kenapa komoditi ekonomi itu ludes? Paradigma streng apakah yang menggerakkannya?Sesungguhnya Berau hari-hari ini tidak sedang jutek sendiri. Berau bagian dari jamaah-sporadis fenomena yang sama di beberapa daerah. Karena sebelum mengusik kabupaten di Kaltim, krisis BBM menusuk salah satu kabupaten di NTT. Tepatnya ketika SPBU-SPBU di Lombok Timur komplang. Lantas di Sulsel, di Kabupaten Bulukumba; di Jatim, Kabupaten Ponorogo.
Kita tahu, harga premium di pasar internasional semakin berada di atas harga eceran nasional. Anomali di sisi suplai lebih terasa daripada di sisi demand-nya. Pasar normal. Dus, harga premium (bersubsidi) terkoreksi. Implikasinya, pemakaian BBM bersubsidi dibatasi.
Dari perspektif ini upaya-upaya gegas mendorong “suksesi” premium bersubsidi dengan pertamax bagi konsumen produk industri otomotif segera harus di-create.

Saya tak punya taring untuk apriori: kendati berhak sebagaimana tiap kita yang makin tak bisa lepas dari BBM yang sudah “adiktif”. Berhak mengidealkan adanya upaya tempuh penyelidikan atau pengumpulan fakta-fakta strukturalnya yang bisa dihubungkan dengan indikasi-indikasi sosialnya yang rawan menjadi “Berau”.
Pamrihnya biar kemudian bisa bersama kita tarik kesimpulannya dan menjadikannya sebagai hikmah.
Bagaimanapun, Pertamina sejak “bilangan nol”-nya – sampai kini – tetap merupakan fora tempat – meminjam istilah dalam novel Bumi Manusia-nya Pramoedya A Toer – “jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan” tampak begitu etalatif-provokatif.

Mungkin ada saat ketika pejabat Pertamina merasa sudah menjalani “mandi kembang” pengelolaan. Sehingga akan mampu menemukan cara lain saja yang lebih alim untuk keperluan mengoreksi paradigma premium bersubsidi: bukan dengan cara kurang terpelajar (fasis), semisal menahan persediaan “barang” di pasar.

Masalahnya belum ada klarifikasi ke publik atas situasi setengah gelap. Terutama ketika akselerasi waktu penggantian pemakaian BBM bersubsidi punya kans menjadi faktor “pe-Machiavelli”. Ingat saja Provinsi DKI Jakarta – belum lama juga – saat kegokilan psikologi-transportasi melanda. Disebut-sebut ada rekayasa sabotase komponen tertentu di mobil-mobil dengan mengotak-atik level kualitas BBM sedemikian rupa.

Tentu Pertamina merasa tidak pernah berbuat kampungan. Maka siapa takut. Pertamina tak gentar menggelar uji sampel premium dari SPBU-SPBU-nya. Dan hasilnya: premium bikinan Pertamina memenuhi spesifikasi.
Lantas bagaimana, dalam kasus itu, Pertamina menjawab soal kerusakan fuel pump pada sekitar 1.200 taksi?
Jawab yang tersogat adalah bahwa ada baiknya Blue Bird Group mengonfirmasi produsen taksi. Seorang petinggi Pertamina bilang, “Kalau Ente bicara fuel pump jangan langsung ke BBM-nya, tapi kayak apa dulu analisis teknisnya”.

Tapi argumentasi semacam itu terasa masih monolog. Sampai hari sudah siang begini toh belum bisa kita unduh kesimpulan final-independennya.
Dari perspektif ini barangkali hujah-hujah “akademis” ala Pertamina bisa tampak kesulitan bernafas ketika upaya-upaya jibaku segera harus dijejakkan untuk mengarahkan percepatan suksesi benda atas benda. Dalam ungkapan lebih ekstrem: agar menjadi “rusaklah” kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pamor rezim premium. Tak mustahil itu termanifestasi menjadi modus-modus vandal.

Bukan berarti untuk itu Pertamina bersedia sedemikian tololnya meracik sendiri premium. Atau bersedia mengadakan pembalakan suku-suku cadang mobil orang layaknya psikopat di jalanan. Sekadar absen saja dalam fungsi pengawasan (bahasa lain dari “melakukan destandarisasi pengendalian mutu”) sudah bagian dari akal bulus.
Di dalamnya Pertamina – istilahnya – “ngga-bunyi” jika ada sejumlah SPBU memancing di air keruh dengan mengoplos. Kalau perlu Pertamina meniup seruling isu adanya di pasar premium “gelonggongan”.
Maka sesungguhnya parsial khotbah tentang etika bisnis ala elite di Pertamina menyangkut uji sampel premium SPBU-nya. Satu sisi – okelah – benar bahwa premium bikinan Pertamina memenuhi standar dan mutu BBM jenis bensin yang dipasarkan.

Tapi hasil uji sampel itu hanyalah satu gelas kopi nikmat yang masih menyisakan lebih dari setengah ruang kosong. Pertanyaan yang tak terjawab adalah: apakah hasil uji sampel premium itu termasuk hasil uji atas kategori non-produk Pertamina? Sebab jangan amnesia: Pertamina juga memiliki pasokan bahan bakar premium impor yang dimonopolinya. Dirjen Migas, Evita Herawati Legowo, sendiri sempat merilis adanya pasokan premium impor Pertamina yang tidak mengandung Oktan 88. Dus, tidak sesuai syarat yang digariskan Keputusan Dirjen Migas No. 3674 Tahun 2006 perihal standar dan mutu (spesifikasi) BBM jenis bensin yang dipasarkan.
“Aurat” yang belum diketengahkan itulah barangkali yang perlu diziarahi.
Persoalannya: apa untungnya pemerintah mendeklamasikan semuanya secara bla-bla-bla? Untuk apa Pertamina berhalo-halo ke seluruh lorong telinga: menjelaskan dengan bahan bakar jenis apa, wahai Saudara-Saudara, tangki-tangki mobil orang diisi?
Yang pemeringah mau itu satu: mobil-mobil dan kendaraan itu laju menuju pertamax.

Saat tercapai finis itulah terciptanya gol lewat tendangan pisang para pejabat-saudagar di Pertamina yang selamanya licin (untuk tak mengatakan sesungguhnya kasar). Jadilah tiap konsumen pertamax di SPBU-SPBU itu golongan samurai Jepang yang menganggap pelaku bisnis tak lain kecuali burung pelikan yang loba.
Paceklik di Berau sekadar meningkahinya dengan animasi. Kekejaman telah jadi sah demi mengamalkan “iman” pada ketergesa-gesaan paradigma efisiensi.

*) Yon A Udiono, Litbang pada Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson).


Share this news

Respon Pembaca

Satu Komentar untuk "Di Balik Paceklik Premium di Berau"

  1. andri on Tue, 7th Dec 2010 8:50 pm 

    Ah itu cuma lagu lama buat naikkan harga agar perjanjian dg shell dan teman2 nya bisa berlaku. . .Selamt. Indonesia d jajah lagi. Dg d jual oleh bangsa nya sendiri. . Cuma gar2 ga bisa ngurus. . Tahu nya cuma duit yang mengalir. . Entah kemana,

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.