ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

 Rentannya Sektor Pariwisata dari Paparan Bencana

January 20, 2019 by  
Filed under Profil, Wisata

Share this news

Vivaborneo.com, Perkembangan pariwisata di Indonesia luar biasa pesat. Data World Travel and Tourism Council (WTTC) melaporkan bahwa Top-30 Travel and Tourism Countries Power Ranking yang didasarkan pada pertumbuhan absolut pada periode tahun 2011 dan 2017 untuk empat indikator perjalanan dan pariwisata utama menunjukkan Indonesia berada pada nomor 9 sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia.

Dalam daftar yang dikeluarkan tersebut, China, Amerika Serikat, dan India menempati posisi tiga besar. Untuk kawasan Asia, Indonesia berada nomor 3 setelah China dan India. Sedangkan untuk di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia terbaik diantara negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand yang berada di nomor 12, Filipina dan Malaysia di nomor 13, Singapura nomor 16 dan Vietnam nomor 21.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, menjelaskan berdasarkan data Kementerian Pariwisata, pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif yaitu sektor pariwisata merupakan penghasil devisa terbesar.

“Pada tahun 2019, industri pariwisata diproyeksikan menyumbang devisa terbesar yaitu US$ 20 Miliar. Dampak devisa yang masuk langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada tahun ahun 2019, pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi yang terbaik di kawasan regional, bahkan melampaui ASEAN,” ujarnya.

Country Branding Wonderful Indonesia menempati ranking 47 dunia, mengalahkan country branding Truly Asia Malaysia (ranking 96) dan country branding Amazing Thailand (ranking 83). Country Branding Wonderful Indonesia mencerminkan positioning dan differentiating pariwisata Indonesia.

Pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia terus mengalami peningkatan sebesar 55% secara absolut, dari tahun 2014 sebesar 9 juta, menjadi 14 juta pada tahun 2017.

Sektor pariwisata penghasil devisa terbesar. Pada 2019, industri pariwisata diproyeksikan menyumbang devisa terbesar di Indonesia yaitu US$ 20 Miliar. Dampak devisa yang masuk langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Di banyak daerah di Indonesia, sektor pariwisata telah mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan makin meningkatkan masyarakat sekitarnya. Misal, pengembangan pariwisata Danau Toba telah meningkatkan PAD Kabupaten  Samosir naik 81 persen dalam kurun waktu 2016-2017. Begitu juga Kabupaten Simalungun, PAD naik 91 persen, Kabupaten Humbang Hasundutan naik 103 persen, Kabupaten Karo naik 58 persen.

Namun di balik itu semua, industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana, apabila tidak dikelola dengan baik, dampaknya akan mempengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja pariwisata. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan melihat keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata.  Bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan mempengaruhi naik turunnya permintaan dalam industri pariwisata.

Dalam catatan BNPB, beberapa kejadian bencana telah menyebabkan dampak industri pariwisata, antara lain, Erupsi Gunung Merapi tahun 2010, telah mengakibatkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan di beberapa obyek wisata di Yogyakarta dan Jawa Tengah mencapai hampir 50 persen.

Bencana kebakaran hutan dan lahan pada Agustus hingga September 2015 menyebabkan 13 bandara tidak bisa beroperasi karena jarak pandang pendek dan membahayakan penerbangan. Bandara harus tutup, berbagai event internasional ditunda, pariwisata betul-betul tertekan. Industri airline, hotel, restoran, tour and travel, objek wisata dan ekonomi yang di-drive oleh sektor ini pun terganggu.

Erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017 menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dan kerugian mencapai Rp 11 trilyun di sektor pariwisata. Terjadi juga gempa Lombok yang beruntun pada tahun 2018 menyebabkan 100.000 wisatawan berkurang dan kerugian Rp 1,4 trilyun di sektor pariwisata.

Yang teranyar yaitu bencana tsunami di Selat Sunda pada 22/12/2018 menyebabkan kerugian ekonomi hingga ratusan miliar di sector pariwisata. Bencana menyebabkan efek domino berupa pembatalan kunjungan wisatawan hingga 10 persen. Sebelum dilanda tsunami, tingkat hunian atau okupansi hotel dan penginapan di kawasan wisata Anyer, Carita, dan Tanjung Lesung mencapai 80–90 persen.

Tentu ini menjadi menjadi pembelajaran bagi kita semua. Mitigasi, baik mitigasi struktural dan non struktural di kawasan pariwisata masih sangat minim. Mitigasi bencana harus ditempatkan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan sektor pariwisata. Mitigasi dan pengurangan risiko bencana hendaknya ditempatkan sebagai investasi dalam pembangunan pariwisata itu sendiri. Sebab, dalam proses pembangunan setiap 1 US$ yang diivestasikan untuk pengurangan risiko bencana maka dapat mengurangi kerugian akibat bencana sebesar 7-40 US$.

Penataan ruang dan pembangunan kawasan pariwisata hendaknya memperhatikan peta rawan bencana sehingga sejak perencanaan hingga operasional dari pariwisata itu sendiri selalu mengkaitkan dengan ancaman bencana yang ada.

Rencana pembangunan 10 Bali Baru atau 10 destinasi pariwisata prioritas yang akan dibangun yaitu Danau Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, Mandalika, Morotai dan Labuan Bajo hendaknya mengkaitkan mitigasi dan pengurangan risiko bencana sehingga daerah pariwisata tersebut aman dari bencana. Faktanya 8 dari 10 daerah prioritas pariwisata tersebut berada pada daerah yang rawan gempa, dan sebagian tsunami. Apalagi investasi pengembangan 10 detinasi pariwisata prioritas dan kawasan strategis pariwisata nasional tersebut sangat besar yaitu Rp 500 trilyun.

Koordinasi perlu dilakukan dengan berbagai pihak. Pentahelix dalam pembangunan pariwisata dan penanggulangan bencana yang melibatkan unsur pemerintah, dunia usaha/usahawan, akademisi, masyarakat, dan media hendaknya didukung semua pihak.

“Bencana adalah keniscayaan. Pasti terjadi karena bencana memiliki periode ulang, apalagi ditambah faktor antropogenik yang makin meningkatkan bencana. Risiko bencana dapat dikurangi sehingga dampak bencana dapat diminimumkan dengan upaya mitigasi dan pengurangan bencana. Di balik berkah keindahan alam Indonesia juga dampat menyimpan musibah jika tidak dikelola dengan baik,”  ucapnya.(vb/yul/*)

 


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.