ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Potret Keberhasilan Usaha Kecil dan Menengah di Perbatasan, Produksi Ribuan Telur Itik, Pasarnya Lintasi Batas Negara

March 20, 2011 by  
Filed under Nusantara

Share this news

Bicaranya ceplas-ceplos dan tegas. Sifatnya sebagai motivator bagi orang-orang disekelilingnya, tidak pernah diam dan berhenti untuk berpikir. Itulah pengakuan ibu dua anak bernama Emma Gastalina yang tinggal di Sebatik Barat.

Emma Gastalina

Emma Gastalina

Emma adalah contoh pengusaha yang tumbuh dari bawah, merintis usah dengan kerja keras dan motivasi yang tinggi. Itulah yang membawa sukses yang  diraihnya hari ini.
Emma bersama suami, Bachtiar, kini menekuni ternak  itik jenis Mojosari sebanyak 2.500 ekor dengan produksi telur sebanyak 1.900 an telur setiap harinya. Sungguh luar biasa. Padahal itik-itik tersebut didatangkan dari Jawa Tengah ke Sebatik menggunakan pesawat udara.

Telur-telur tersebut sebagian diolah menjadi telur asin yang  dijual  Rp.50.000 untuk pasar di Sebatik dan dijual RM 17,5 (ringgit Malaysia) per 30 butirnya ketika dijual ke Tawau Malaysia. Sementara telur yang mentah dijual Rp42.000 per 30 butirnya dan jika dijual ke “seberang” akan dihargai sebesar RM 15 atau 15 ringgit Malaysia.

Produk telur bebeknya ini dijual melintasi antar Negara ke kota Tawau, Malaysia yang hanya berjarak setengah jam dari kandangnya, karena lebih dekat dan mudah dija dipasarkan ke Kota Nunukan atau Tarakan.

“Menjual ke Tawau lebih mudah dari segi transportasi dan daya beli mereka yang selalu tinggi, sementara selisih harga sedikit lebih tinggi,” ujarnya member alas an.

Dengan 12 orang pekerja yang membantunya, ternak itiknya diberi pakan campuran berupa limbah ikan atau limbah udang dan dicampurkan dengan dedak sebagai makanan utama itik-itknya.

Emma Gastalina memang seorang wanita yang tidak pernah puas dalam mengembangkan usahanya. Selain beternak itik, dirumanya yang sederhana dan berkonstruksirumah panggung layaknya rumah-rumah tradisional orang Bugis, Emma dan suami juga berjualan pupuk non subsidi untuk memenuhi permintaan kebun sawit milik masyarakat. Dia juga mengembangkan pupuk organic buatannya yang berasal dari limbah kulit kakau yang diolah dan dicampur dengan kotoran itiknya. Menurutnya pupuk organic buatannya ini lebih ramah lingkungan dan lebih menyuburkan tanaman.

“Kelapa sawit memerlukan pemupukan yang teratur pada tiga tahun pertama, sebanyak dua kali dalam setahun dan dilakukan penyiangan tanaman. Sehingga dalam tiga tahun pertama, kelapa sawit dipupuk enam kali. Apabila tidak teratur, amak hasil tidak akan maksimal,” katanya.
Di kebun milik Emma seluas 15 hektar,  setiap 20 hari sekali mampu dipanen kelapa sawit 15 ton buah sawit segar dengan harga RM 800  atau Rp30 juta dengan kurs Rp2500 setiap ringgitnya.
Ketua Himpunan Wanita Tani Indonesia (Hiwani) Kabupaten Nunukan ini juga membina kelompok-kelompok wanita di sekitarnya, mulai dari membuat aneka kerupuk ikan, juga kerupuk daun papaya dan daun mengudu.
“Kami sering mencoba-coba, bahkan yang sedang kami kembangkan adalah dodol dari jantung pisang. Setelah dicoba ternyata rasanya sangat enak dan layak untuk dijual. Potensi jantung pisang di Sebatik sangat banyak, sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya,” ujarnya.

Sosok Emma yang tak pernah berhenti berinovasi ini, hendaknya menjadi perhatian pemerintah baik kabupaten maupun provinsi untuk membinanya. Selayaknya, Emma dan wanita tani disekitarnya mendapatkan pembinaan berupa menejemen, teknologi maupun bantuan permodalan.(vb/yul)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.