RUU KUHAP Harus Ciptakan Keseimbangan dan Harmonisasi Antar Institusi Penegak Hukum
April 18, 2025 by admin
Filed under Kalimantan Timur

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kaltim, Iman Wijaya
SAMARINDA – Perubahan hukum acara pidana merupakan suatu konsekuensi yuridis dengan akan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Januari 2026. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru nantinya harus mampu menciptakan keseimbangan dan harmonisasi antara institusi penegak hukum.
Hal tersebut disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kaltim, Iman Wijaya yang didapuk sebagai keynote speech pada seminar “Rencana Penerapan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia” garapan Pusat Kajian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), di Gedung Serbaguna Lantai IV Rektorat Unmul Samarinda, Rabu (16/4/2025).
Diketahui Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi panduan selama lebih dari 40 tahun.
Disebutkan, koordinasi yang efektif sekaligus check and balance yang proporsional antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, serta institusi lain bukan sekadar pilihan namun keharusan dalam sistem Peradilan pidana modern.
“Semangat yang harus dipupuk adalah semangat untuk memberi masukan kepada pembentuk UU, agar RUU KUHAP yang sedang dibahas pada akhirnya akan menjadi hukum positif yang bermanfaat bagi masyarakat sebagai pendamba keadilan yang sebenarnya,” ucapnya.
Menurut Iman, pentingnya pengaturan secara lebih detail terkait perlindungan hak-hak tersangka, saksi, dan korban. RUU KUHAP membawa paradigma baru dalam melindungi hak-hak fundamental semua pihak, dalam proses Peradilan pidana.
Hal ini mencerminkan komitmen terhadap prinsip due process of law yang lebih kuat apalagi konstitusi negara kita secara tegas mengatur beberapa aspek tentang Hak Asasi Manusia.
“Hukum acara pidana yang baru, nantinya saya harapkan memberikan aturan yang jelas dan tegas tentang perlindungan hak sekaligus cara untuk memastikan terpenuhinya hak tersebut,” sebutnya lebih lanjut.
Di dalam KUHAP penting untuk memberi ruang terhadap model keadilan restoratif sebagai salah satu instrumen penegakan hukum.
“Dalam konteks ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa keadilan restoratif bukan sekadar alternatif penyelesaian perkara, melainkan paradigma baru dalam sistem peradilan pidana kita, pendekatan ini menekankan pemulihan keseimbangan sosial, bukan semata-mata pembalasan atas perbuatan pelaku,” jelasnya.
Sementara itu, Ivan Zairani, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Mulawarman sebagai narasumber pada seminar tersebut turut menyampaikan pentingnya pendekatan akademis dalam menelaah Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah menjadi perdebatan publik.
“Kita melihat bahwa dalam pembahasan KUHAP ke depan, terdapat banyak persoalan yang perlu dikaji lebih dalam secara akademis,” tegasnya.
Ini penting agar ketika undang-undang tersebut disahkan dan mulai diberlakukan tidak menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat yang berkepentingan dengan proses keadilan.
Perubahan paradigma hukum acara pidana, menurut Ivan, seharusnya tidak lagi berlandaskan pada sistem kolonial, tetapi mengacu pada prinsip-prinsip KUHP nasional yang baru.
“Jangan sampai KUHAP disebut nasionalisasi, tapi substansinya masih kolonial,” imbuhnya.

Imelda Palimbunga – mahasiswi semester 6 Fakultas Hukum Unmul
Imelda Palimbunga, salah satu peserta seminar menyampaikan, revisi KUHAP sangat penting untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
“Perubahan pokok dalam KUHAP sangat diperlukan, terutama untuk menciptakan hukum acara pidana yang lebih substansial dan mengedepankan keadilan,” kata Imelda – mahasiswa semester enam Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini.
Menurut Juara Duta Pelajar Sadar Hukum Kaltim tahun 2022 ini, perlu adanya pengaturan baru seperti pemberian keputusan pemaaf oleh hakim. Tentu ini mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanusiaan.
Tidak semua perbuatan pidana dilakukan karena niat jahat. Ada juga yang terjadi karena keadaan tertentu.
“Penting adanya ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut,” pungkas mahasiswi semester 6 Fakultas Hukum Unmul ini. (*)
Respon Pembaca
Silahkan tulis komentar anda...