Mendorong Pertumbuhan dari Ujung Jari, Sistem Pembayaran Digital dan Masa Depan Ekonomi

July 27, 2025 by  
Filed under Opini

Share this news

Oleh: Dedy Mainata*

Di era hiper-konektivitas yang semakin tak terbendung, sistem pembayaran digital telah bertransformasi dari sekadar kanal transaksi menjadi motor utama perekonomian global. Ia tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi telah menjadi infrastruktur vital yang mengintegrasikan sektor keuangan, memperluas inklusi, serta merangsang pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Fenomena ini tidak hadir dalam ruang hampa. Dalam satu dekade terakhir, krisis global, pandemi COVID-19, dan percepatan teknologi telah mempercepat adopsi sistem pembayaran digital di berbagai belahan dunia. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa digitalisasi layanan keuangan, termasuk pembayaran, mampu menjembatani kesenjangan akses, meningkatkan efisiensi biaya, serta memberikan jalur formal bagi kelompok rentan untuk masuk dalam sistem ekonomi.

Di Asia Tenggara, transformasi ini sangat terasa. Di Thailand, misalnya, layanan PromptPay telah mencatat rata-rata 72,6 juta transaksi per hari, dengan nilai mencapai lebih dari 53 triliun Baht hingga Maret 2025. Angka tersebut melampaui transaksi berbasis cek dan tunai, yang terus mengalami penurunan drastis selama lima tahun terakhir. Indonesia pun mencatatkan pertumbuhan transaksi QRIS dan BI-FAST yang luar biasa. Pada awal 2025, pengguna QRIS menembus 56 juta, dengan lebih dari 38 juta merchant, mayoritas adalah UMKM.

Sistem pembayaran digital bukan hanya mempercepat transaksi, tetapi juga menciptakan jejak digital yang bernilai ekonomi. Pelaku usaha mikro dan kecil kini memiliki data transaksi yang dapat dijadikan dasar penilaian kredit, memperluas akses mereka terhadap layanan keuangan formal. Di sisi pemerintah, pencatatan transaksi digital memperkuat basis pajak dan meningkatkan transparansi fiskal.

Namun, perkembangan ini tidak tanpa risiko. SEACEN Centre mengingatkan bahwa kompleksitas sistem pembayaran digital menciptakan tantangan baru: mulai dari ancaman keamanan siber, penyalahgunaan data, potensi fraud, hingga kebutuhan akan kerangka regulasi yang adaptif. Regulasi yang terlalu kaku berisiko menghambat inovasi, sedangkan pengawasan yang longgar membuka ruang pelanggaran.

Menjawab tantangan ini, beberapa negara menerapkan pendekatan regulasi berbasis Regulatory Impact Assessment (RIA), yaitu menilai dampak, efisiensi, dan adaptabilitas regulasi terhadap inovasi. Bank of Thailand, sebagai contoh, telah menjalankan “Enhanced Regulatory Sandbox” untuk menguji teknologi baru secara aman, mulai dari QR lintas negara, e-KYC, hingga programmable payments.

Lebih jauh lagi, keamanan digital menjadi fondasi utama kepercayaan publik terhadap sistem pembayaran. SEACEN menawarkan kerangka tujuh elemen keamanan, dari deteksi risiko, edukasi berkelanjutan, hingga respon cepat terhadap potensi penipuan sebagai pendekatan holistik untuk menjaga ketahanan sistem pembayaran digital. Dalam kutipan yang tajam, SEACEN menyatakan bahwa: “Cybersecurity is not just a defense, it’s a strategic enabler of trust and innovation in payments.”

Dari sisi swasta, inovasi juga berkembang pesat. Mastercard, misalnya, memperkenalkan passkey biometrik untuk otentikasi pembayaran, serta tokenisasi penuh guna mencegah pencurian data kartu. Teknologi ini tidak hanya menambah kenyamanan, tetapi juga memperkuat perlindungan konsumen di dunia digital yang semakin kompleks.

Red Date Technology bahkan telah mengembangkan infrastruktur global bernama Kissen Network, yang memungkinkan penyelesaian transaksi lintas negara secara instan menggunakan mata uang digital teregulasi. Proyek ini didesain untuk menghubungkan bank komersial, bank sentral, dan pelaku industri keuangan dalam satu sistem interoperabel. Visi ini menjanjikan efisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam remitansi, perdagangan internasional, hingga tokenisasi aset keuangan.

Namun semua ini hanya akan berdampak luas bila disertai dengan kebijakan yang inklusif. Indeks literasi keuangan Indonesia yang baru mencapai 65,43 persen menunjukkan masih adanya tantangan besar di hulu. Tanpa penguatan literasi digital dan keuangan, sistem yang dimaksudkan untuk memberdayakan justru bisa menciptakan kesenjangan baru antara yang terhubung dan yang terpinggirkan.

Masa depan sistem pembayaran digital tidak hanya soal teknologi, tetapi soal arah kebijakan, kepercayaan publik, dan kolaborasi lintas sektor. Central Bank Digital Currency (CBDC), stablecoin teregulasi, hingga sistem tokenisasi lintas batas akan terus mewarnai wajah ekonomi baru dunia. Yang menjadi pertaruhan bukan hanya siapa yang paling canggih, tetapi siapa yang paling siap, baik secara hukum, teknologi, maupun sosial.

Oleh karena itu, Indonesia harus melanjutkan langkah strategisnya dengan memperkuat infrastruktur pembayaran, memperluas kolaborasi internasional, mengedukasi masyarakat, dan menciptakan kerangka regulasi yang tangkas namun berpihak pada perlindungan publik. Hanya dengan itu, sistem pembayaran digital akan benar-benar menjadi mesin pertumbuhan baru yang inklusif, efisien, dan berkeadilan.

Dalam dunia yang kini digerakkan oleh klik, kode, dan konektivitas, pertumbuhan ekonomi tidak lagi hanya ditentukan oleh kekuatan modal atau tenaga kerja. Ia ditentukan oleh seberapa cepat, seberapa aman, dan seberapa luas kita bisa mengalirkan nilai secara digital, dari ujung jari.*

*) Dedy Mainata adalah staf pengajar UINSI Samarinda

 


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.

  • vb

  • Pengunjung

    903687
    Users Today : 3007
    Users Yesterday : 3380
    This Year : 752063
    Total Users : 903687
    Total views : 9599217
    Who's Online : 41
    Your IP Address : 216.73.216.55
    Server Time : 2025-12-06