ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Banjir Kap, Banjir yang Membawa Berkah dan Keuntungan

August 17, 2014 by  
Filed under Religi, Sosial & Budaya

Share this news

Vivaborneo.com, Masa keemasan eksploitasi kayu gelondongan di Kalimantan Timur (Kaltim) dimulai sekitar tahun 70-an yang lebih dikenal dengan istilah ‘Banjir Kap’.  Saat itu, seorang kepala daerah diberi wewenang untuk memberi ijin pemotongan kayu bulat (log) di dalam hutan. Para penebang yang rata-rata berkelompok kemudian menghanyutkan kayu gelondongan tersebut melalui Sungai Mahakam untuk kemudian dijual langsung pada pembeli dari luar negeri yang menunggu di kapal pengangkutnya.Tak jarang kayu-kayu sebesar drum sepanjang lebih dari 15  meter yang ditebang di dalam hutan, harus menunggu air pasang agar dapat dihanyutkan dari anak sungai menuju sungai Mahakam yang sangat lebar dan panjang.

Aktifitas ini berlanjut tahun 1980-an dimana era pabrik kayu lapis mulai menghiasi pinggiran sepanjang Sungai Mahakam. Ribuan orang, khususnya ibu-ibu rumah tangga dan para remaja putri berusia 20 tahunan menjadi pegawai kayu lapis (plywood) ini.

Cerita dibalik banjir kap ini sungguh beragam. Saat itu, booming era kayu gelondongan ini banyak mengangkat ekonomi rakyat Kalimantan. Banyak orang-orang desa menjadi “orang kaya baru”.

Selain pekerja, yang dibuat makmur oleh keberadaa kayu ini adalan para  antemar atau para calo pemilik modal yang membeli kayu dari pekerja dan menjualnya kembali ke pengusaha luar negeri yang berlabuh di sepanjang Sungai Mahakam.

Beberapa juragan kayu yang sukses diantaranya Haji Rusli yang berasal dari Kecamatan Sangulirang Kabupaten Kutai Timur. Haji Rusli yang saat ini merupakan pendiri dan pemilik Mesra Grup dahulunya adalah seorang camat yang memilih pension dini. Mesra Grup merupakan induk dari Hotel Mesra Internasional, dan anak-anak usaha lainnya.

Satu lagi diantara yang sukses adalah HM Yos Sutomo. Pria keturunan Tiongkok Islam ini merupakan pemain ulung di saat jaman kayu menjadi primadona yang berasal dari tanah Senyiur, Kutai Kartanegara. Yos Sutomo merupakan pemilik Senyiur Grup  dengan Hotel Bumi Senyiur di Samarinda dan Grand Senyiur di Balikpapan.

Di jaman keemasan kayu ini, seorang warga pedalaman Mahakam yang di kampungnya tidak memiliki listrik pun dapat membeli kulkas. Padahal harga kulkas para tahun 1970-1980-an sangat mahal dan merupakan barang mewah. Tetapi karena tidak ada listrik di kampung, maka lemari es ini tidak jarang hanya diisi pakaian oleh pemiliknya!

Di saat “banjir kap” ini setiap minggu para pekerja kayu datang ke Samarinda hanya untuk shopping. Jarak tempuh dari kampong menuju ibukota Kalimantan Timur dapat ditempuh menggunakan kapal yang memakan waktu sedikitnya 24 jam.

Menurut cerita Sabrie, saat itu dirinya yang hanya seorang penjahit pakaian. Dari jasanya ini dirinya dapat dengan cepat membeli tanah dan rumah dan menafkahi keluarga  dari hasil menjahit pakaian para orang kaya baru ini.

“Kain-kain yang bereka jahitkan untuk baju ataupun celana umumnya berwarna terang. Merah, kuning, jingga, adalah pilihan warna favorit,” ujar Sabrie , yang membuka usaha menjahit pakaian di Jalan Pahlawan Samarinda.

Sabrie menuturkan, dirinya selain menjahit dirinya juga seorang pegawai negeri sipil di Bea Cukai Samarinda dengan gaji Rp350 ditambah mendapat beras sebanyak 25 kilogram.

Karena tergiur upah menjahit yang lebih banyak dari gaji bulanan, Sabrie yang memiliki lima putra ini memutuskan berhenti dari PNS dan memutuskan hanya menjahit di rumah.

Menurutnya,  upah dari menjahit sepotong celana saat itu Rp75-100  dengan waktu normal  selesai 2-3 hari per celana atau baju.

Karena terbatasnya waktu berbelanja para orang kaya baru ini di Samarinda, biasanya para pekerja ini meminta jahitan pakaian (baju atau celana) secara ekspres satu hari selesai.

“Satu celana panjang diberi upah Rp150 yang harus selesai maksimal 24 jam. Dalam waktu itu saya dapat menyelesaikan dua potong pakaian,” ujarnya.

Sehingga dalam satu kali pesanan, dirinya dapat menyelesaikan dua potong pakaian dengan upah Rp150. Dalam seminggu, dirinya dapat menyelesaikan 4 potong pakaian secara ekspres.

Pesanan ini datang tiap akhir pekan. Sehingga dapat dipastikan setiap minggu ayah mendapat upah lebih dari Rp300. Ini sama dengan gaji sebulan ketika bekerja di pemerintahan saat itu.

Kini, masa keemasan kayu tersebut hanya tinggal kenangan. Kerusakan akibat kebijakan yang tidak tepat saat itu telah membuat hutan di Kaltim hancur lebur.  Setiap era mambawa jamannya masing-masing. Era kayu berganti minyak dan gas. Kemudian berganti dengan era tambang, khususnya batubara. Semoga saja, kita bijak mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki agar era keemasan tersebut dapat dirasakan sepanjang masa.(vb/yul)

 


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.