ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Lembuswana, Hewan Imajiner yang Masih Hidup Hingga Saat Ini

August 24, 2014 by  
Filed under Religi, Sosial & Budaya

Share this news

Vivaborneo.com, Setiap suku dan golongan masyarakat adat di jaman peradaban masa lalu bangsa Indonesia, sebagian besar memiliki mitos dan kepercayaan yang bersumber dari imajinasi, khayalan, dan cerita turun temurun.

Kebanyakan dari mitos tersebut tidak memiliki dasar ilmiah, apalagi jika berlandaskan agama modern seperti saat ini. Mitos dan kepercayaan terbangun dengan banyak maksud, terutama untuk pemersatu, perlambangan, peraturan sosial kemasyarakatan dan lain-lain.Dalam mitos suku-suku di Indonesia, biasanya penciptaan manusia berasal dari dewa.  Dewa yang menjelma menjadi seorang putri, dewa yang menjadi titisan raja-raja, dewa yang  menjadi permulaan dari kehidupan dan peradaban manusia.

Salah satu mitos yang terkenal di Kalimantan adalah kehadiran Putri Karang Melenu di Kabupaten Kutai Kartanegara ataupun Putri Petung yang ditemukan terlahir di dalam rumpun bamboo di masyarakat Paser, Kalimantan Timur.

Salah satu mitos yang terkenal bagi suku Kutai di Kaltim adalah kehadiran hewan Lembuswana yang menjadi wahana Batara Guru yang disebut dalam falsafah ‘Paksi leman gangga Yakso” yang berarti bahwa seseorang memiliki sifat-sifat mulia sebagai pengayom rakyat.

Penduduk setempat, di Kota Tenggarong hingga kini masih mempercayai bahwa mahluk ini merupakan “kendaraan spiritual”  dari Raja Mulawarman, yaitu raja Kutai kuno yang tercatat sebagai kerajaan tertua di Indonesia antara abad ke 4-5 Masehi.

Menurut legendanya, ada seorang bayi yang dikawal oleh hewan berbentuk ular naga lembu yang disebut Lembuswana. Bayi tersebut kemudian dikenal sebagai Putri Junjung Buih dan menjadi Putri Karang Melenu yang menjadi pendamping hidup Raja Kutai Kartanegara pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti yang akhirnya melahirkan para raja di Kota Raja, Tenggarong.

Hewan imajiner dari peradaban masa lalu ini memiliki bagian-bagian berupa, Mahkota Garuda melambangkan kegagahan dan keagungan raja.  Terdapat tanduk yang tumbuh dikepala melambangkan keberanian.

Tubuhnya  besar berbentuk lembu, melambangka sifat perwira,  dan keperkasaan yang setara dengan keberadaan Lembu Andini, yaitu kendaraan milik Barata Guru atau Dewa Siwa.

Lembuswana juga memiliki sisik di tubuhnya layaknya seekor naga. Ini melambangkan adanya pusat kepemimpinan yang berwibawa, tangguh, tegak dan kuat dalam menghadapi segala rintangan terhadap kewibawaan pemerintah.

Hewan ini juga bersayab bagai burung yang melambangkan sifat kebersamaan dalam mengatur kehidupan bernegara.

Memiliki gading dan belalai seperti gajah menggambarkan sifat dan kesempurnaan dalam melakukan kekuasaan bernegara yang dikenal dengan istilah Furba Wasesa Negara.

Di ke empat kaki Lembuswana, memiliki taji  layaknya taji ayam jantan aduan yang  melambangkan keutuhan untuk melindungi rakyat dari segala tantangan dan gangguan dari dalam maupun luar.

“Lembuswana merupakan mahluk yang luarbiasa dalam mitos Kutai Kartanegara. Lembuswana memiliki semua unsur kehidupan dan kekuatan yang merupakan rahasia alam semesta. Sehingga membawa semangat dan sumber inspirasi bagi raja-raja Kutai untuk maju bersama rakyatnya,” ujar Kepala Museum Negeri Mulawarman di Kota Tenggarong, Wahyu Husein Hakim.

Keberadaan Lembuswana memang tidak pernah terlihat selama berabad-abad. Namun masyarakat Kota Tenggarong percaya, bahwa keberadaan hewan ini ada dan bersemayam di dasar sungai Mahakam, tepatnya di sekitar Pulau Kumala.

Patung Lembuswana juga menjadi symbol bagi keamanan, kedamaian, persatuan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Kaltim melalui setiap pemerintahan yang dijalankan, khususnya oleh pejabat-pejabat dari suku-suku Kutai.

Terlepas dari mitos yang ada, keberadaan lembuswana sebagai hewan imajiner pendahulu suku Kutai melambangkan betapa tinggi seni dan rasa bathin mereka dalam penciptaannya.

Patung Lembuswana dapat dengan mudah ditemukan di berbagai lokasi, baik di halaman kantor-kantor pemerintahan, di taman-taman, maupun sebagai monumen penanda tempat dan batas kota.(vb/yul)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.