ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Berhasil Kurangi Emisi, Kaltim Ketiban Rp320 Miliar

November 8, 2022 by  
Filed under Berita

Share this news

Peserta acara Expose and Press Conference Kucuran Dana Bank Dunia sebagai Kompensasi atas Keberhasilan Kaltim Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. Kegiatan ini membangun spirit baru, bahwa konservasi lahan dan hutan lebih menguntungkan dibanding deforestasi atau degradasi hutan. (Foto Ani)

BALIKPAPAN – Berhasil dalam program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Kaltim dipastikan menerima kucuran dana U$20,9 juta atau setara Rp320 miliar. Dana yang pengucurannya sedang dalam proses administrasi tersebut, merupakan kompensasi dari keberhasilan Kaltim dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfir.

Dana Rp320 M yang diterima Kaltim tahun ini, merupakan kompensasi dari kesepakatan penandatanganan Emission Reduction Payment Agreement (ERPA), antara Pemerintah Indonesia dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Bank Dunia untuk kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang terverifikasi, kata Gubernur Kaltim Isran Noor saat konfrensi pers di Ball Room Hotel Grand Senyiur Balikpapan, Selasa (08/11/2022) pagi.

Disebutkan, Indonesia akan menerima pembayaran hingga 110 juta dolar AS selama kurun program  2020-2024. Dengan catatan, Indonesia mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfir, melalui program-program pemanfaatan lahan yang maksimal. Contohnya kegiatan mensosialisasikan jika langkah konservasi hutan lebih menguntungkan daripada tindakan deforestasi (merusak hutan).

Dikatakan Isran Noor, di Kalimantan Timur, masyarakat merupakan jantung dari pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan. Pemprov Kaltim akan memastikan semua pihak mendapatkan manfaat dari hasil jangka panjang program dan pembayaran ini. Terutama bagi masyarakat setempat termasuk masyarakat adat.

“Kami pastikan, program ini akan berimbas pada mata pencaharian yang lebih baik, hutan yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim. Kami juga berharap jika program ini akan menarik sumber pembiayaan lain karena kami berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dalam jangka panjang,” papar Isran Noor dalam pidatonya.

Isran Noor menyentil kegiatan produksi di luar daerah yang menggunakan bahan baku dari Kaltim. Seperti pabrik plywood di luar pulau. Demikian  menurut Isran Noor, memberikan manfaat minim terhadap Kaltim. Setidaknya dalam penyerapan tenaga kerja.

“Kayu dikirim gelondongan ke luar pulau. Setelah jadi produknya, lalu dikirim lagi ke Kaltim dengan nilai jual yang fantastis. Ini kan tidak adil,” cetus Gubernur yang hobi berpantun ini.

ERPA sendiri adalah kesepakatan atau kontrak yang mengikat secara hukum untuk memberikan pembayaran jasa lingkungan. Dengan kata lain, kompensasi atas upaya Indonesia melestarikan hutan tropis dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Program yang dimaksud membantu Indonesia serta pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh pembiayaan konservasi hutan berkelanjutan dalam jangka panjang. Ini diharapkan dapat mengurangi perubahan iklim dari kehilangan hutan dan degradasi hutan dengan membuat konservasi hutan lebih menguntungkan daripada melakukan deforestasi. Hal ini ditempuh dengan menawarkan insentif berbasis hasil pada berbagai negara untuk mengurangi emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan.

“Pembayaran ini akan membangun kepercayaan terhadap sistem berbasis kinerja di tingkat internasional dan nasional. Ini menjadi perangkat penting mendorong mitigasi perubahan iklim,” sebut Satu Kahkonen, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste secara daring.

Sementara Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) adalah kemitraan global pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan organisasi masyarakat adat yang berfokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi stok karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan dan peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang ; kegiatan yang biasa disebut REDD+. Diluncurkan pada tahun 2008, FCPF telah bekerjasama dengan 47 negara berkembang di Afrika, Asia serta Amerika Latin dan Karibia, bersama dengan 17 donor yang telah memberikan kontribusi dan komitmen senilai 1,3 miliar dollar AS. (ni)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.