ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Seni Barongsai, Jalinan Persahabatan Ratusan Tahun di Klenteng Thien Ie Kiong 

November 12, 2020 by  
Filed under Wisata

Share this news

Samarinda —  Vivaborneo.com, Tak hanya menjadi tempat ibadah bagi warga Tionghoa yang beragama Konghucu di Kota Samarinda, ternyata Klenteng Thien Ie Kiong  juga menjadi perekat erat toleransi antara warga Tionghoa Samarinda dengan warga pribumi di sekitarnya. Tak lekang oleh waktu, jalinan persahabatan ini telah berlangsung hingga satu abad lebih melalui seni tarian Barongsai.

Seorang pengunjung memperhatikan detail bangunan di Klenteng Thien Ie Kiong Samarinda. Klenteng yang dibuka setiap hari ini telah berdiri sejak tahun 1905.(Foto: Wiwid M Wijaya)

Klenteng Thien Ie Kiong Samarinda adalah klenteng tertua di kota Samarinda. Umur klenteng ini telah berumur sekitar 115 tahun dan dibangun  saat era penjajahan Belanda di tahun 1905. Belanda yang berkuasa di Kota Samarinda, menjadikan jalan di depan klenteng yang kini bernama Jalan Yos Sudarso, sebagai pusat perekonomian.

Letaknya sangat strategis. Di depan klenteng adalah Sungai Mahakam yang lebar membentang. Di sisi kiri bangunan klenteng adalah Sungai Karang Mumus yang merupakan anak Sungai Mahakam. Di jamannya, klenteng Thien ie Kiong dapat dijangkau lewat jalan darat dan juga lewat sungai menggunakan sampan-sampan tradisional.

Klenteng Thien Ie Kiong tidak saja menjadi kebanggaan bagi warga Tionghoa saja tetapi telah menjadi kebanggaan bagi warga Samarinda. Harus diakui tidak semua orang Samarinda pernah menjejakkan kaki di halaman klenteng berwarna merah menyala ini. Namun coba tanyakan dimana alamat klenteng ini pada seluruh warga Samarinda, dapat dipastikan mereka dapat menunjukkan alamatnya.

Begitu terkenalnya klenteng ini, karena perjalanan sejarahnya yang sangat panjang  menyertai  perjalanan  sejarah bangsa Indonesia, khususnya perjalanan warga Tionghoa di Samarinda sebelum dan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.

Sudah sejak beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2010, pengurus Klenteng Thien Ie Kiong Samarinda  turut melatih anak-anak sekitar klenteng untuk belajar seni tari Barongsai. Tujuannya adalah, untuk meningkatkan kebersamaan dan toleransi antar warga yang tinggal di sekitar klenteng.

Barongsai yang dulunya adalah tradisi tari khas Tiongkok dan kini menjadi cabang olahraga yang dilombakan baik di tingkat nasional maupun tingkat olimpiade. Menurut Wikipedia, seni Barongsai adalah  tarian tradisional Tiongkok dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa.

Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Qin adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Tiongkok sepanjang sejarahnya.

Dinasti Qin terkenal sebagai dinasti yang pendek umurnya, tetapi meletakkan dasar-dasar kekaisaran yang kemudian akan diteruskan selama 2000 tahun oleh dinasti-dinasti setelahnya. Dinasti ini juga adalah dinasti pertama yang mempersatukan suku bangsa beragam di Tiongkok ke dalam entitas tunggal nasional.

Kesenian Barongsai mulai populer pada zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi.  Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di,  kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi.

Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian Barongsai melegenda hingga sekarang.

Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat, dan Singa Selatan yang bersisik dan bertanduk. Penampilan singa Utara lebih mirip singa karena berbulu tebal, bukan bersisik.

Di Indonesia, Singa Utara biasa disebut Pekingsai. Singa Utara memiliki bulu yang lebat dan panjang berwarna kuning dan merah, biasanya Singa Utara dimainkan dengan dua Singa dewasa dengan pita warna merah di kepalanya yang menggambarkan Singa Jantan dan Pita Hijau (kadang bulu hijau di kepalanya) untuk menggambarkan Singa Betina.

Pekingsai dimainkan dengan akrobatik dan atraktif, seperti berjalan di tali, berjalan di atas bola, menggendong, berputar, dan gerakan-gerakan akrobatis lainnya.

Tidak jarang juga, Pekingsai dimainkan dengan anak singa, atau seorang ‘pendekar’ yang memegang benda berbentuk bola yang memimpin para Singa. Biasanya, sang pendekar melakukan beberapa gerakan-gerakan beladiri Wushu.

Sementara, untuk Singa Selatan, yang sering kita lihat, atau kita sebut Barongsai. Singa Selatan lebih ekspresif dibanding Singa Utara. Kerangka kepala Singa Selatan dibuat dari bambu, lalu ditempeli kertas, lalu dilukis, dan ditempeli bulu dan dihias.

Bulu yang memiliki kualitas tinggi untuk pembuatan Barongsai adalah bulu domba atau bulu kelinci. Tetapi, untuk harga yang murah, biasanya digunakan bulu sintetis. Pada zaman modern, kerangka barongsai mulai dibuat dengan aluminium atau rotan.

Barongsai Selatan ini dikenal sebagai Futsan dimainkan dengan kuda-kuda dan gerakan yang lebih memerlukan tenaga. Barongsai Futsan biasanya dimainkan di dalam kategori Barongsai Tradisional. Kuda-kuda dan gerakan barongsai hoksan lebih santai daripada Barongsai Futsan. Barongsai futsan biasanya digunakan di sekolah-sekolah kungfu, dan hanya murid terbaik yang dapat memainkannya.

Barongsai dimainkan di beberapa tempat. Barongsai yang dimainkan di lantai atau papan disebut Barongsai Tradisional, Barongsai yang dimainkan di atas tonggak disebut Barongsai Tonggak.

Tonggak yang berstandar internasional memiliki tinggi kurang lebih 80 cm sampai 2 meter. Untuk Barongsai lantai, biasanya area dalam pertandingan dibatasi 8×8 meter hingga 10×10 meter. Dalam pertunjukan Barongsai, makanan Barongsai yang berupa sayur disebut Cheng.

Barongsai di Indonesia

Salah satu penampilan kelompok Barongsai yang ada di Samarinda saat Food Bazar Vegetarian Festival beberapa tahun lalu.(Foto:Poskaltim.com/Yuliawan A.)

Barongsai di Indonesia, mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.

Pada zaman pemerintahan Soeharto, Barongsai sempat tidak dilarang untuk  untuk dimainkan dan tampil di muka umum. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan Barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Klenteng Gedong Batu.

Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tionghoa yang dikenal dengan Imlek, Barongsai dari keenam perguruan di Semarang, selalu dipentaskan.

Begitupun di Samarinda, setelah Barongsai ditarikan kembali, terdapat sembilan perkumpulan Barongsai yang juga selalu memeriahkan Imlek, dengan aksi Barongsai yang berkeliling kota, membagi kegembiraan dan kebahagiaan bersama warga Tionghoa yang merayakan Imlek.

Barongsai sebagai Olahraga

Sekarang Barongsai di Indonesia sudah diperlombakan. Federasi Olahraga Barongsai Indonesia atau FOBI yang menaungi kesenian Barongsai telah diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia KONI.

Jadi, sekarang pemain Barongsai bisa disebut sebagai Atlet Barongsai. Barongsai Indonesia telah meraih juara pada kejuaraan di dunia. Dimulai dengan Barongsai Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dari Padang yang meraih juara lima pada kejuaraan dunia di Genting – Malaysia pada tahun 2000.

Hingga kini barongsai Indonesia sudah banyak mengikuti berbagai kejuaraan-kejuaraan dunia dan meraih banyak prestasi. Sebut saja beberapa nama seperti Kong Ha Hong (KHH) – Jakarta, Dragon Phoenix (DP) – Jakarta, Satya Dharma – Kudus, dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) – Tarakan. Bahkan nama terakhir, yaitu PSMTI telah meraih juara 1 pada suatu pertandingan dunia yang diadakan di Surabaya pada tahun 2006.

Perkembangan Barongsai di Indonesia bisa dibilang cukup pesat, bisa dilihat dari prestasi-prestasinya di pertandingan-pertandingan dunia. Indonesia juga dapat mengalahkan tim Barongsai dari Tiongkok yang sudah ribuan tahun lebih dahulu mempelajari Barongsai.

Atlet Barongsai Indonesia juga sudah dapat mengalahkan tim Barongsai dari Malaysia yang memang lebih dulu mempelajari Barongsai daripada Indonesia. Pertandingan-pertandingan tingkat internasional dapat memberikan pelajaran dan pengalaman untuk Barongsai Indonesia agar lebih baik di masa depan.

Federasi Olahraga Indonesia (FOBI) berharap dengan diselenggarakannya kejuaraan-kejuaraan dapat memberikan nilai silaturahmi antar tim Barongsai dalam maupun luar negeri.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kesenian atau seni keterampilan dalam permainan Barongsai membutuhkan keahlian khusus dan tentunya dengan latihan yang rutin dapat menjadikan para pemain yang terlibat di dalamnya menjadi mahir dan terampil.

Namun disini terkadang banyak orang yang masih berpendapat bahwa bermain Barongsai bisa menjadikan seorang pemain atau para pemain menjadi kesurupan seperti halnya dalam permainan Kuda Lumping ala masyarakat Jawa.

Dalam melakukan permainan Barongsai, dibutuhkan keahlian dan ketangkasan yang tentunya didapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau arena tempat bermain, dikarenakan permainan Barongsai harus dapat dilakukan di segala medan, ataupun arena, atau bahkan di lapangan dan juga di tempat yang luasnya amat minimalis.

Sebagai olahraga tradisional yang telah masuk dalam KONI Kaltim, Barongsai sering dipertandingkan dalam berbagai pekan olahraga, baik daerah, nasional maupun internasional.

Hari Ulang Tahun (HUT) Samarinda ke-352 dan HUT Pemkot Samarinda ke-60 tahun yang jatuh pada tanggal 21 Januari 2020, Persatuan Lion dan Barongsai Seluruh Indonesia (PLBSI) Kota Samarinda akan menggelar lomba Lion dan Barongsai Tingkat Nasional. Lomba ini selain memperkenalkan olahraga baru di Kota Samarinda juga untuk memperkenalkan budaya masyarakat Tionghoa.

Atlet Barongsai Kaltim berfoto usai melakukan latihan bersama.(Foto: @syahriansyah/picuki.com

“Lomba ini terbuka untuk umum dan tidak harus masyarakat Tionghoa, karena di Samarinda saja, beberapa atletnya justru bukan dari masyarakat Tionghoa. Ada 20 sampai 25 tim barongsai yang akan ikut berpartisipasi. Tim barongsai itu tidak hanya berasal dari Kaltim, namun juga perwakilan dari provinsi lain,” kata Ketua PB PLBSI Kota Samarinda, Yuhadi.

Ketua KONI Kaltim, Zuhdi Yahya mengatakan sangat menyambut baik kegiatan pelestarian budaya  sebagai tradisi yang dipertahankan setiap tahunnya. Selain menjadi sarana menjalin silaturahmi antar umat beragama, juga menjadi aset pariwisata untuk kejayaan Kota Samarinda.

Meski masih berusia muda, namun induk olahraga barongsai telah mengukir prestasi untuk membanggakan nama Kaltim. Zuhdi minta para atlet barongsai, agar lebih giat berlatih untuk mempersiapkan sejumlah event penting.

“Barongsai sudah menjadi bagian cabang olahraga yang sudah dipertandingkan di ajang PON 2016 lalu. . Makanya kalau bisa adik-adik (atlet) Barongsai untuk lebih giatkan berlatih,” pinta Zuhdi.

Sementara itu, Wakil Ketua Barongsai Dharma Setya Balikpapan, Suriansyah menjelaskan, tidak ada ritual atau makanan khusus bagi atlet atau pemain Barongsai saat tampil di hadapan publik.

Dengan latihan yang teratur dan keseriusan mempelajari seni tari ini, maka “jurus” awal yaitu kuda-kuda yang baik bisa didapat dalam waktu dua atau tiga bulan. Selain itu, pemain Barongsai harus ada rasa saling percaya antara setiap penari yang beraksi.

“Pemain (yang posisinya berada) belakang harus percaya kepada (pemain) depan,  (pemain) depan harus percaya kepada (pemain) yang belakang. Keahlian seni bela diri Kung Fu menjadi dasar permainan ini, yaitu posisi  kuda-kuda,” katanya.

Berat kepala barongsai kurang-lebih 10 kilogram, sedangkan kepala liong lebih berat lagi, sekitar 17 kilogram. Kedua kepala barongsai dan liong kerangkanya terbuat dari kayu, rotan, dan kawat lalu dibungkus kertas semen. Adapun badan liong maupun barongsai menggunakan bahan kain.

Senada dengan pelatih Suriansyah, pelatih Barongsai Klenteng Thien Ie Kiong Samarinda, Edi Naga mengatakan bahwa seni Barongsai adalah seni tari yang digabungkan dengan gerakan kungfu atau beladiri wushu, dimana beberapa gerakan menyerupai jurus bela diri asal Tiongkok tersebut.

Justru inilah daya tarik seni Barongsai ketika dimainkan. Naga mampu meliuk-liuk dengan luwesnya. Gerakan kompak menaiki anak tangga ataupun tonggak kayu yang disediakan tanpa takut sedikitpun terpeleset.

Di Klenteng Thien Ie Kiong, ujar Edi, latihan bersama anak-anak sekitar klenteng dilakukan dua kali seminggu. Jadwal ini bisa bertambah jika akan ada pertunjukkan di hari besar kalender Tiongkok. 

Uniknya, yang terut latihan dan turut mementaskan seni Barongsai ini, ujar Edi, ada keikutsertaan anak-anak dari warga Samarinda lainnya. Khususnya yang berada di sekitar klenteng. Ada anak dari suku Jawa, Madura, Banjar, Dayak dan suku-suku lainnya, yang juga mahir memainkan kaki-kaki mereka.

“Namun, selama pandemi Covid-19, latihan kami liburkan untuk menghindari penyebaran penularan. Juga untuk mengikuti anjuran pemerintah dalam menjaga jarak, baik social distancing maupun physical distancing,” ujarnya pada Rabu sore (11/11/2020).

Walau begitu, latihan dalam grup-grup kecil tetap dilakukan walaupun waktu dan jumlah orangnya terbatas. Namun, tidak dilakukan di klenteng Thien Ie Kiong seperti biasanya. Anak-anak pemain Barongsai dalam skala kecil berlatih di klenteng lain yang lebih dekat dengan rumah mereka.

“Jadi jalinan anak-anak turut bermain Barongsai di sekitar klenteng ini sudah berlangsung sangat lama. Bisa jadi sudah ada seiring dengan berdirinya Klenteng Thien Ie Kiong pada 1905 itu,” ujarnya menjelaskan.

Klenteng Thien Ie Kiong biasanya kerap menyelenggarakan beberapa acara besar di kalender Tiongkok. Salah satunya adalah Hari Raya Imlek. Disini, klenteng yang dibangun pada tahun 1905 ini menjadi sangat ramai.

Walau ada beberapa klenteng besar di Samarinda, namun klenteng dengan bahan kayu yang dibawa langsung dari Tiongkok ini, menjadi magnet untuk warga Samarinda dari berbagai suku untuk berkumpul.

Kelenteng Thian Gie Kiong merupakan tempat persujudan atau persembahan bagi Dewi dan Makco Thian Siang Sing Bo, Dewa atau Kongco Hian Thian Siang Te dan Dewa Kwan Sing Tee Kun serta para suci lainnya.

Bangunan kelenteng didirikan atas swadaya masyarakat etnis tionghoa atas prakarsa Letnan Oey Kun Khue Gwan yang melihat aspirasi dan mendapat persetujuan khalayak ramai. Masyarakat Tionghoa menghimpun dana dari masyarakat Tionghoa Samarinda dan didapat uang sebesar 50.000 gulden sebagai dana  pembangunan kelenteng.

Menurut catatan sejarah, pada zaman pendudukan Jepang, kelenteng ini pernah nyaris hancur terkena hantaman bom, dari udara. Saat itu Jepang ingin menghancurkan pabrik pengolahan minyak goreng yang berada tepat di belakang kelenteng. Akibatnya, salah satu tiang penyangga bangunan klenteng miring hingga saat ini.

Delapan tiang menyangga bagian teras, dua di antaranya berhias ukiran awan dan naga. Uniknya, tak hanya melingkari tiang namun naga ini seperti merentangkan kedua tangan dengan satu kaki menendang ke depan. Seakan-akan sedang melakukan jurus naga sakti menendang awan.

Bangunan klenteng berarsitektur khas Tionghoa, ada bagian yang terbuka di bagian tengah. Ruangan ini berfungsi sebagai ventilasi ketika upacara-upacara ibadah berlangsung karena asap dari hio yang dinyalakan akan mengepul tanpa henti.

Di sisi kanan dan kiri ada tempat-tempat untuk berdoa. Sedangkan meja altar besar, tempat meletakkan sesaji di depan patung Dewi Kwan Im berada di bagian utama yang luas dengan langit-langit tinggi.

Semua tiang penyangga di bagian dalam klenteng dicat hitam dengan tulisan Cina berwarna emas. Ada lukisan dan relief ukiran hampir di setiap dinding dan pintu. Dinding, tiang-tiang, dan bubungan atap bangunan kelenteng ini masih menggunakan kayu, teknik penyambungannya adalah dengan menggunakan pasak kayu.

Kemegahan dalam balutan sejarah ini terus dijaga tidak saja oleh warga Tionghoa di Samarinda. Namun, mereka turut dieratkan dengan kekerabatan dengan para warga di sekitar klenteng selama lebih dari satu abad silam.

Klenteng dalam keyakinan boleh saja hanya dimiliki oleh warga Tionghoa beragama Konghucu, namun seni, budaya dan situs benda ini adalah aset warga Samarinda yang sangat berharga untuk dilestarikan.(Wiwid Marhaendra Wijaya)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.