Curhat ke AI Meningkat, Risiko Psikologis Mengintai

December 7, 2025 by  
Filed under Opini

Share this news

SAMARINDA — Kecenderungan remaja dan anak muda untuk menjadikan Artificial Intelligence (AI) sebagai tempat mencurahkan isi hati kian meningkat di era digital. Fenomena ini terlihat kuat di kalangan Generasi Z dan Generasi Alpha yang nyaris tumbuh seiring dengan kehadiran ponsel pintar dan konektivitas internet. Namun, penelitian terbaru mengingatkan kebiasaan ini tak selalu memberikan dampak positif bagi kesehatan mental.

Sebuah publikasi bertajuk From Lived Experience to Insight: Unpacking the Psychological Risks of Using AI Conversational Agents mengungkapkan, penggunaan chatbot AI berpotensi memunculkan 19 perilaku berisiko mulai dari manipulasi emosional, pencarian validasi instan, hingga ketergantungan psikologis terutama pada kelompok pengguna yang secara emosional rentan.

Penelitian longitudinal pada tahun 2025 yang melibatkan 981 responden juga menunjukkan keterkaitan signifikan antara intensitas interaksi suara dengan bot AI dan meningkatnya rasa kesepian. Studi ini mencatat kecenderungan menarik diri dari interaksi sosial nyata serta tumbuhnya keterikatan emosional yang berlebihan terhadap AI, hingga mengurangi kebutuhan bersosialisasi dengan manusia.

Pakar kesehatan mental menilai fenomena tersebut mengandung risiko tambahan, seperti self-diagnosis, misinformasi, dan pemilihan langkah penanganan mandiri tanpa konsultasi profesional. Dalam sejumlah laporan internasional bahkan muncul istilah AI psychosis, kondisi ketika individu mulai meyakini chatbot memiliki kesadaran layaknya manusia dan menjadikannya pusat perhatian emosional hingga memicu krisis mental.

Meski demikian, sejumlah studi juga mencatat manfaat terbatas. Untuk kasus depresi ringan hingga moderat, curhat ke AI dapat membantu tahap awal pengelolaan stres. Namun peneliti menegaskan, chatbot hanya berfungsi sebagai alat pendamping, bukan pengganti peran psikolog, konselor, atau dukungan manusia.

Bagi remaja, AI menawarkan kenyamanan, selalu tersedia, tidak menghakimi, cepat merespons, dan bisa memahami konteks emosi. Hal ini membuat layanan AI terasa seperti “ruang aman virtual” yang dapat diakses kapan saja tanpa takut distigma. Namun kemudahan ini dikhawatirkan membuat sebagian remaja menghindar dari hubungan sosial nyata yang sebenarnya penting untuk perkembangan empati dan kecerdasan emosional.

Kondisi ini terjadi kepada salah satu remaja yang aktif menggunakan chatbot sebagai teman ngobrol, Syifa (19) mengaku lebih nyaman mencurahkan perasaannya ke AI dibandingkan teman dekat.

“Aku merasa AI-nya lebih ngerti aku daripada temen sendiri. Kalau capek, galau, atau bingung, tinggal ketik aja, langsung ada jawaban yang bikin adem. Kalo curhat ke temen aku gaenak, takut mereka terganggu,” ujarnya.

Syifa menyadari manfaat sekaligus bahaya fenomena ini.

“Curhat ke AI nggak salah, asal tahu batasnya. Tapi jangan sampai AI jadi tempat pelampiasan utama sampai kita lupa ada manusia di luar sana,” tambahnya.

Para ahli mengibaratkan fenomena ini seperti payung di tengah hujan badai, berguna, tetapi tidak bisa menggantikan tempat berteduh yang sebenarnya. Sementara bagi sebagian remaja, AI mungkin terlihat layaknya teman ideal, selalu ada, tidak marah, tidak tersinggung, namun hubungan tersebut tetap satu arah dan tidak mampu menggantikan interaksi manusia yang penuh dinamika dan kehangatan emosional. (intan)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.

  • vb

  • Pengunjung

    905368
    Users Today : 444
    Users Yesterday : 4244
    This Year : 753744
    Total Users : 905368
    Total views : 9610898
    Who's Online : 42
    Your IP Address : 216.73.216.55
    Server Time : 2025-12-07