ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Empat Organisasi Wartawan Diskusi Akhir Tahun

December 30, 2021 by  
Filed under Serba-Serbi

Share this news

MALANG – Menutup kegiatan akhir  tahun 2021, empat organisasi wartawan yang menjadi konstituen Dewan Pers yakni PWI, AJI, IJTI dan PFI se- Malang Raya, menggelar diskusi yang memaparkan catatan jurnalistik di Warung Isor Nongko New, belakang gedung DPRD Kota Malang, Rabu (29/12/2021).

Ketua PWI Malang Raya, Cahyono mengakui pertemuan empat organisasi ini di Malang ini sangat langka. Oleh karena itu moment seperti ini dimanfaatkan sebaik  mungkin.

“Sepertinya baru kali ini empat organisasi media di Malang bisa kumpul seperti ini. Kita hanya beda baju saja, tetapi profesi sama dan harus kompak,” kata Cahyono di Warung Isor Nongko New, Kota Malang.

Cahyono menyebut pertemuan langka ini bakal menjadi agenda rutin bulanan forum empat organisasi wartawan di Malang Raya.

Dengan adanya saling mengenal dan silaturohmi 4 wadah kewartawanan ini, segala persoalan yang menyangkut kegiatan pers dapat dikomunikasikan dengan baik.

Cahyono menyebut dilema wartawan bisa lebih ringan. Terutama, wartawan yang berdinamika dengan kode etik, UU Pers dan UU ITE.

Melalui pertemuan ini, ada saling mengingatkan dan kekompakan, bagaimana menghadapi persoalan yang kerap dialami awak media seperti kriminalisasi kerja jurnalistik  di Malang Raya.

“Di luar sana, tidak sedikit wartawan yang terkriminalisasi karena UU ITE. Kami pun sekarang berharap pada DPR RI, agar ada revisi UU ITE. Sehingga, tidak ada lagi wartawan masuk penjara karena berita,” kata wartawan harian Bhirawa ini.

Dilema wartawan modern di Indonesia saat ini adalah kekangan UU ITE. Banyak wartawan dengan produk jurnalistiknya tersandung UU ITE.

“Penyidik di luar sana pun acapkali mengabaikan MoU antara Dewan Pers dan Polri. Sehingga, banyak wartawan tersandung hukum UU ITE,” katanya.

Karena itu, untuk langkah nyata di Malang, Cahyono menunjukkan etikad positif terhadap usulan sosialisasi di tingkat desa.

Sosialisasi tersebut berupa pengetahuan jurnalistik dan UU Pers kepada kepala desa dan para perangkatnya.

Dengan begitu, dia berharap tidak ada lagi kasus pidana di Malang yang berkaitan dengan produk jurnalistik.

Sementara itu, Ketua AJI Malang, M Zainuddin menegaskan, kasus kekerasan terhadap wartawan di tahun 2021 menurun drastis.

Itu jika memakai perbandingan dengan tahun 2020. “Tahun 2021 menurun tajam. Tahun 2020 banyak karena saat itu ada demo Omnibus Law. Banyak wartawan jadi korban kekerasan,” kata Zainuddin.

Meski demikian, wartawan harian Surya tersebut mengatakan, ada satu pengecualian yang perlu menjadi perhatian yakni, kasus doxing atau pembeberan identitas secara ilegal.

Salah satu wartawan Malang mengalami doxing media sosial oleh narasumber yang merasa tidak terima dengan pemberitaan tertentu.

“Selain itu, peristiwa besar berupa erupsi Semeru, mengungkapkan persoalan bagaimana wartawan perlu memiliki skill tentang kebencanaan,” ujar Zainuddin.

Termasuk, editor dari media massa yang tidak boleh asal mengirim wartawan tanpa memberi bekal peralatan keselamatan.

“Kebanyakan, wartawan yang liputan di erupsi Semeru, hanya dapat perintah editor langsung berangkat. Tanpa ada pertanyaan, butuh peralatan keselamatan atau tidak. Karena kan di lokasi bencana bukan daerah aman,” ujarnya.

Misalnya, masker khusus yang bisa menangkal debu agar tidak masuk pernapasan. Karena, masker medis saja tidak cukup untuk kebutuhan pengamanan ini.

Serta, pemahaman soal dasar-dasar Search And Rescue (SAR). Sehingga, wartawan minimal bisa menyelamatkan diri sendiri, ketika terjadi erupsi susulan.

Zainuddin juga menyoroti adanya perusahaan media yang belum memenuhi hak-hak kesejahteraan wartawan.

Dia juga menyorot pemerintahan Malang Raya yang tidak patuh sepenuhnya pada UU Keterbukaan Informasi Publik. Terutama, soal perda APBD yang harusnya terbuka untuk umum.

Senada, Ketua IJTI Malang Raya, Muhammad Tiawan juga menilai, ancaman terhadap kemerdekaan pers masih terjadi di Malang.

“Ada ancaman yang akhirnya menodai kemerdekaan pers. Kita harus memiliki cara untuk mencegah ancaman ini. Misalnya, mendeteksi apakah pelaku kekerasan itu spontan atau terorganisir,” jelas Tiawan.

Dikatakan Tiawan, biasanya pelaku kekerasan adalah oknum aparat yang berada di tingkat pelaksana lapangan. Kebanyakan, para pelaksana lapangan, tidak memahami soal UU Pers. Karena itu, Tiawan mengharap adanya kemitraan yang tepat antara aparatur dan lembaga negara dengan pers.

Jurnalis televisi Kompas TV itu juga menegaskan soal bahaya hoaks. Sebagai wartawan kontemporer di era digital dan disrupsi informasi, persoalan media massa mainstream saat ini tidak sekadar liputan.Tetapi, menjadi verifikator isu yang viral, dan memastikan validitas informasinya.

“Karena, sekarang saja produk jurnalistik ada yang ngecap hoaks. Penyesatan informasi ini meresahkan dan menyusahkan wartawan juga,” tegasnya.

IJTI sendiri telah membikin langkah melawan hoaks. IJTI Malang memiliki channel di media sosial, untuk menangkal disinformasi atau hoaks.

Sementara itu, Ketua PFI Malang, Darmono menyorot soal banyaknya  Pencurian foto yang berkeliaran di media sosial.

“Biasanya ada yang mengklaim foto orang lain, bahkan sudah ada watermark tetap saja diakui miliknya ” ujarnya.

Sehingga, Momon panggilan akrab Darmono yang fotografer Radar Malang tersebut meminta media massa di Malang, minimal bisa menghargai karya orang lain.

“Misalnya, kalau foto itu berasal dari humas atau instansi, ya disebut instansinya. Kalau berasal dari citizen, ya namanya dicantumkan,” tutupnya.

Setelah paparan catatan 2021, empat organisasi pun sepakat membuat resolusi 2022.

PWI Malang Raya, AJI Malang, IJTI Korda Malang Raya dan PFI Malang, bersama-sama menjunjung tinggi kemerdekaan dan keselamatan wartawan (pers) dalam melakukan peliputan. (Buang)

 


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.