Gen Z–Alpha Terlihat Lebih Cepat Dewasa, Pakar Soroti Tekanan Dunia Digital

December 20, 2025 by  
Filed under Serba-Serbi

Share this news

SAMARINDA — Kemajuan teknologi yang melaju tanpa jeda membawa dampak signifikan bagi Generasi Z dan Generasi Alpha. Paparan digital sejak usia dini membuat dua generasi ini kerap dipersepsikan lebih cepat dewasa, terutama dari sisi mental dan emosional.

Sejumlah pakar menilai kondisi tersebut bukan soal penuaan biologis, melainkan akumulasi tekanan psikologis yang datang lebih awal. Ibarat “buah belum masak tapi sudah dipetik,” sebagian anak muda dipaksa berhadapan dengan tuntutan yang melampaui tahap usianya.

Laporan Gallup (2021) mencatat hampir separuh Gen Z mengaku sering mengalami burnout, bahkan saat masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Beban akademik, ekspektasi sosial, hingga paparan media sosial yang nyaris tanpa jeda menjadi faktor utama.

Psikolog sekaligus penulis buku iGen, Dr. Jean Twenge, menyebut derasnya arus informasi membuat generasi muda seolah “melompat pagar” menuju fase dewasa lebih cepat. Dalam wawancara yang dikutip dari Psychology Today, ia menilai tekanan yang dulu dialami orang dewasa, kini dirasakan sejak remaja.

Kondisi tersebut turut dirasakan di tingkat lokal. Assyifa (19) seorang mahasiwa yang mengaku kerap merasa lelah secara emosional meski aktivitasnya terlihat biasa saja.

“Capeknya bukan fisik, tapi pikiran. Lihat media sosial rasanya semua orang harus sukses cepat. Kalau kita tertinggal dikit, langsung ngerasa gagal,” ujarnya.

Fenomena ini kontras dengan pengalaman generasi sebelumnya. “Dulu kami tumbuh pelan-pelan, sekarang semuanya serba cepat,” ungkap Lis (42), seorang ibu rumah tangga.

“Anak-anak sekarang sudah mikir hal berat sejak kecil. Padahal, kata orang tua dulu, ‘alon-alon asal kelakon’,” katanya.

Selain tekanan mental, kualitas tidur juga menjadi perhatian. Data Sleep Foundation (2023) menunjukkan remaja Gen Z kehilangan waktu tidur sekitar satu hingga dua jam per malam dibanding generasi sebelumnya. Paparan gawai sebelum tidur disebut berdampak langsung pada kestabilan emosi dan daya konsentrasi.

Gejala serupa mulai terlihat pada Generasi Alpha, anak-anak kelahiran setelah 2010. Mereka dinilai memiliki pola komunikasi dan ketertarikan yang lebih kompleks. Dalam kajian psikologi, kondisi ini dikenal sebagai adultification, ketika anak dituntut bersikap layaknya orang dewasa sebelum waktunya.

Dalam istilah lain, pakar menyebutnya sebagai emotional fatigue dan digital aging, kelelahan emosi akibat tekanan berulang dari dunia digital. Seperti peribahasa “besar pasak daripada tiang,” tuntutan yang diterima kerap tak sebanding dengan kesiapan mental anak.

Meski demikian, para ahli menegaskan kondisi ini bukan tanpa jalan keluar. Peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial menjadi kunci utama. Pembatasan penggunaan gawai, ruang dialog yang sehat, serta pendampingan emosional dinilai penting agar anak dan remaja dapat tumbuh sesuai tahap usianya.

Sebab, dewasa bukan soal cepat atau lambat, melainkan kesiapan. Dan seperti kata pepatah, “setiap bunga mekar pada waktunya.” Dunia digital semestinya menjadi alat bantu tumbuh, bukan beban yang mempercepat lelah. (intan)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.

  • vb

  • Pengunjung

    984230
    Users Today : 440
    Users Yesterday : 8277
    This Year : 832606
    Total Users : 984230
    Total views : 10124021
    Who's Online : 67
    Your IP Address : 216.73.216.188
    Server Time : 2025-12-21