Monster Pembully Lahir dari Nafsu Emosional

December 2, 2025 by  
Filed under Opini

Share this news

Oleh: Rhea Friady

Berita kekerasan terhadap anak, kian hari memunculkan rasa takut dan khawatir masyarakat. Berita kekerasan yang disajikan melalui media pers dan media sosial kerap muncul. Menurut data hingga 30 Juni 2025, tercatat 454 anak menjadi korban kasus kekerasan dari total 662 kasus kekerasan di Kalimantan Timur. Tidak hanya kekerasan verbal, namun juga kekerasan fisik. Bahkan, yang membuat miris Adalah pelaku bukan hanya dari kalangan orang dewasa saja, namun sesama anak. Ini muncul seperti monster yang siap melakukan bullying (perundungan) yang terlahir dari hawa “nafsu emosional” dalam dinamika sosial.

Perilaku agresif dalam permainan

Sikap agresif dan menyakitkan yang dilakukan dalam sebuah permainan seringkali dianggap wajar bagi sebagian masyarakat. Pemikiran tersebut muncul dari sudut pandang orang dewasa yang menganggap permainan fisik perlu dilakukan sebagai upaya mengembangkan keterampilan motorik (halus dan kasar), koginitf, dan sosial pada anak.

Namun fakta yang terjadi, permainan fisik seringkali menjadi alasan seseorang melakukan tindakan bully yang dapat mengakibatkan kerugian pada orang lain. Tindakan menyakiti dalam sebuah permainan bisa menjadi berbahaya ketika dilakukan dengan cara menyakiti. Pada umumnya permainan fisik dilakukan dalam sebuah interaksi kesadaran emosi yang positif, dilakukan dengan spontan dan sukarela. Berbeda dengan tindakan bully, sikap yang dilakukan dengan tindakan menyakiti baik secara fisik, verbal, maupun relasional (mengucilkan) dengan tidak adanya keseimbangan antara pelaku dan korban.

Pencegahan bullying dalam pendidikan anak usia dini

Pada jurnal yang ditulis Despa Ayuni mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Quraniyah Manna Bengkulu, dengan judul Pencegahan Bullying dalam Pendidikan Anak Usia Dini,  pada tahun 2021 menyatakan, Bullying dapat terjadi di mana pun dan kapanpun. Hasil penelitian menunjukkan perilaku bullying dapat terjadi pada rentan usia tiga hingga tujuh tahun. Despa Ayuni menuliskan, jika perilaku bullying tidak dicegah atau dihentikan maka akan berdampak buruk pada anak. Orang tua dan guru dianggap memiliki peran penting untuk mengenali gejala awal bullying pada anak sebagai upaya pencegahan bahkan menghentikan bullying. Dengan melihat karakteristik dari pelaku bullying, seperti mampu mengendalikan, menekan orang lain, tidak sabaran dan mudah marah, memiliki sifat yang agresif, tidak ada rasa empati, memiliki fisik yang kuat, suka menganggu teman.

Pada tahun 2022, Siti Nur Elisa Lusiana dan Siful Arifin dari Institut Agama Islam Negeri Kudus dan Institut Kariman Wirayudha Sumenep, juga menulis jurnal terkait permasalah bullying dengan judul Dampak Bullying Terhadap Kepribadian dan Pendidikan Seorang Anak. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil sebuah kesimpulan bullying merupakan tindakan agresif, yang dilakukan secara berulang kali, dan terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban.

Pelaku bullying minim empati

Hasil penelitian menunjukkan, pelaku bullying tidak memiliki empati dalam interaksi terhadap sosial, bahkan perilakunya pun seringkali dianggap tidak normal. Sementara, korban bullying memiliki sikap yang sebaliknya pro social (sikap hiperaktif dan pro-sosial) menjadikan dua sikap yang sangat berbeda bahkan berlawanan, namun saling berkaitan yang dapat memicu tindakan pelaku bullying terhadap lingkungan di sekitarnya.

Pelaku bullying juga memiliki tingkat gangguan kesehatan mental yang dapat dilihat pada kondisi emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan korban bullying. Sementara itu, korban bullying yang mengalami kekerasan secara fisik maupun verbal seringkali mengalami trauma berkepanjangan, tidak hanya trauma saja namun juga dapat mempengaruhi hasil belajar akademik akibat dari kekerasan yang diterima oleh korban bullying.

Korban bullying seringkali merasa terisolasi secara sosial. Akibat bullying korban seringkali mengalami ketidakpercayaan diri, sulit mempunyai teman dekat. Korban biasanya tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua. Akibatnya kesehatan mental yang menurun, dan yang paling buruk korban bullying dapat mengalami depresi hingga memicu upaya bunuh diri. Perilaku bullying juga dapat memberikan efek negatif seperti kesehatan fisik terganggu, gangguan kesehatan mental, serta melahirkan pelaku bullying. Tindakan bullying juga dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya lingkungan teman sebaya, lingkungan keluarga dan status sosial.

Upaya mengatasi tindakan bullying pada anak yang paling utama dengan memberikan kasih sayang, kepercayaan, dengan melibatkan baik pelaku bullying dan korban. Bukan itu saja, adanya kerjasama antara sekolah, guru, dan orang tua, serta dukungan masyarakat dilingkungan sosial sangat diperlukan untuk mengatasi tindakan bullying.

Perilaku bullying sudah seharusnya dapat dicegah dengan merumuskan solusi bersama yang dapat diimplementasikan dengan bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi, dengan menghindari sikap diskriminatif, serta menanamkan kasih sayang, melakukan sosialisasi dan  membuat peraturan tegas tentang perilaku bullying. Melalui edukasi kepada pelaku, dan memberikan perlindungan kepada korban melalui sikap dan bertindak tegas. (*)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.

  • vb

  • Pengunjung

    898753
    Users Today : 1453
    Users Yesterday : 2949
    This Year : 747129
    Total Users : 898753
    Total views : 9536990
    Who's Online : 53
    Your IP Address : 216.73.216.55
    Server Time : 2025-12-05