ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Masih Ada Wartawan Terima Upah Rendah

December 7, 2009 by  
Filed under Berita

Share this news

SAMARINDA, – vivaborneo.com – Profesionalitas wartawan dipertanyakan ketika upah yang mereka terima rendah bahkan dibawah Upah Minimum Regional (UMR),namun mereka tetap menerima pekerjaan kewartawanan.Demikian dikatakan Ketua Umum PWI Pusat Margiono saat menjadi narasumber dalam seminar bertajuk “Menakar Upah dan Kelayakan Wartawan” dalam acara Konferensi Cabang (Konfercab) Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kaltim Sabtu (05/12) di Samarinda.“Tadi pada diskusi masih ada wartawan yang bergaji hanya Rp 200 ribu. Kalau ada wartawan yang mau dihaji Rp 200 ribu itu, saya bisa pastikan pastilah dia wartawan yang tidak profesional. Siapa wartawan yang maju digaji Rp 200 ribu,” ujar Margiono.

Ketidakprofesionalan membuat wartawan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi.Untuk itulah PWI, kata Margiono berupaya untuk terus meningkatkan profesionalisme wartawan melalui pelatihan,seminar, workshop bahkanada rencana untuk membuat sekolah jurnalistik di tiap-tiap provinsi.

“Kalau wartawan itu profesional, dalam arti memiliki wawasan, ketrampilan yang baik terkait tugas profesinya, dan memahami, melaksanakan profesi itu sesuai kode etik jurnalistik, akan dengan sendirinya memiliki posisi tawar yang tinggi,” jelasnya.

Menurut Margiono, upah yang kecil harusnya tidak diberikan kepada wartawan karena akan membuat kinerja wartawan yang bersangkutan akan lemah, tidak netral dan dapat melanggar kode etik jurnalistik. “Harusnya wartawan yang diupah rendah membuat perusahaan pers menjadi gelisah, bukannya malah memanfaatkan tenaga wartawan,” tegasnya.

Kendala yang kini dihadapi pers Indonesia adalah tidak adanya standarisasi dalam perusahaan pers.Di dalam UU Pers No 40/1999, menurutnya ada kelemahan. Kelemahannya adalah memungkinkan semua orang bisa membuat media. Siapa pun bisa, sehingga mudah pula bagi siapa pun menjadi wartawan.

Kini Dewan Pers sudah membuat standarisasi organisasi pers. Sehingga akhirnya hanya tiga saja organisasi pers yang lolos. Jadi, bukan hanya organisasi wartawan atau wartawan saja yang akan memiliki standarisasi. Perusahaan pers pun harus dibuatkan standarisasi agar tidak semua orang bebas mendirikan perusahaan pers.

“Syaratnya antara lain memiliki wartawan yang terdidik. Memasukkan kode etik jurnalistik ke dalam aturan perusahaan. Sehingga wartawan yang melanggar kode etik bisa dianggap melanggar aturan perusahaan, yang dengan begitu bisa dikenakan sanksi perusahaan. Ini antara lain sebagai upaya menjadikan wartawan dan pers profesional,” jelasnya.(vb-01)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.