ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Manajemen Risiko dan Pencegahan Tindakan Kekerasan Pada Tenaga Kesehatan

May 31, 2023 by  
Filed under Opini

Share this news

Oleh : drg. Cirska Nadia Putri

drg. Cirska Nadia Putri

Kekerasan pada tenaga kesehatan kembali terjadi. Insiden tersebut terjadi pada Senin, 24 April 2023 lalu. Dua dokter magang di Puskesmas Fajar Bulan Lampung, menjadi korban kekerasan dua orang pasien yang tengah berobat disana. Pasien tidak terima karena sakit yang dideritanya tidak kunjung membaik, padahal dokter yang merawat sudah memberikan perawatan sesuai SOP dan obat-obatan pun sudah diberikan. Dalam video yang viral di media sosial, memperlihatkan korban dicekik dan dibanting ke lantai.

Terdapat jejak panjang kasus kekerasan pada tenaga kesehatan di negeri ini. Satu bulan sebelumnya, dokter spesialis paru yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire, Papua Tengah, tewas dibunuh pada 9 Maret 2023. Menurut data IDI Papua, sejak 2019 sampai Maret 2023, ada empat dokter yang menjadi korban kekerasan. Tiga dokter spesialis tewas dan satu dokter umum terluka berat.

Sementara berdasarkan data Komnas Perempuan, dalam rentang 2022-2023, ada 9 kasus kekerasan terhadap perempuan perawat yang dilaporkan ke mereka. Tiga di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan dan rekan kerja. Komnas Perempuan menyebut kekerasan pada perawat perempuan dilakukan oleh pasien, rekan kerja, maupun orang yang tidak dikenal.

Alasan yang memicunya pun kadang sepele, seperti saat ayah seorang pasien anak memukuli dan menjambak seorang perawat wanita di RS Siloam Palembang. Saat diperiksa, pelaku mengaku emosi karena melihat darah keluar dari tangan anaknya saat korban melepas infus. Sebagai seorang tenaga kesehatan, tentu saya ikut prihatin dengan rentetan kejadian ini.

Kekerasan terhadap nakes adalah risiko yang dapat menyebabkan cedera, tuntutan dan kerugian secara finansial pada ruang lingkup rumah sakit. Kekerasan terhadap nakes adalah realita yang tidak menguntungkan yang terjadi pada praktik medis.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan di tempat kerja didefinisikan sebagai “insiden dimana staf dilecehkan, diancam, atau diserang dalam keadaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka”. Peristiwa kekerasan pada nakes termasuk cukup sering terjadi di Indonesia. Pelakunya rata-rata adalah keluarga atau penunggu pasien. Hal itu membuat para nakes mengalami rasa cemas sehingga berdampak terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan muruah nakes sebagai nobile officium (profesi mulia).

Profesional medis yang menghadapi kekerasan diketahui dapat mengalami masalah psikologis seperti depresi, insomnia, stres pascatrauma, ketakutan, yang menyebabkan keengganan untuk bertugas di wilayah terpencil. Pada klinik dan rumah sakit, sangat besar kemungkinan pasien dan keluarga pasien mengalami kesedihan, frustasi, marah dan bingung.

Hal ini bisa bermanifestasi menjadi perilaku agresif yang membahayakan bagi tenaga kesehatan maupun pasien sendiri. Beberapa penyebab umum kekerasan terhadap nakes adalah ketidakpuasan pasien dengan perawatan yang diberikan, administrasi yang buruk, miskomunikasi, masalah infrastruktur dan penggambaran negatif tentang nakes di media. Seorang tenaga kesehatan, terutama dokter, harus membekali diri dengan pengetahuan keahlian yang terstandar untuk memastikan  keamanan diri sendiri dan orang lain.

Tenaga medis diharapkan mampu berkomunikasi dengan jelas, simpatik, dan memberikan peran kolaborasi antara pasien dan tenaga medis. Dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, memastikan pasien paham dengan informasi yang diberikan serta bahasa tubuh yang baik penting dilakukan untuk membina hubungan baik dengan pasien.

Manajemen risiko di rumah sakit adalah kegiatan pengendalian yang menyeluruh berupa identifikasi dan evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit dan organisasinya sendiri sesuai standar Akreditasi (The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations/JCAHO).

Kekerasan terhadap nakes termasuk dalam kategori risiko di rumah sakit yang berhubungan dengan karyawan serta risiko keselamatan dan kecelakaan kerja. Manajemen rumah sakit harus mampu untuk mempertahankan lingkungan yang aman dan menyediakan perawatan dan kompensasi pekerja untuk cedera terkait dengan pekerjaan.

Program manajemen risiko yang terintegrasi digunakan untuk mencegah terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit. Risiko lainnya yang dapat terjadi jika terjadi adanya tindakan kekerasan adalah risiko reputasi dimana narasi media tak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga dapat mempunyai persepsi yang negatif terhadap nakes dan menurunnya kepercayaan publik terhadap rumah sakit.

Terdapat klasifikasi kekerasan di tempat kerja menjadi lima tingkat seperti yang dijabarkan menurut Kumari dkk (2020), yaitu:

  • Tingkat 1: pasien dan/atau penunggu pasien menyebabkan konflik kecil, misalnya argumen yang tidak diinginkan, berteriak, gerakan yang tidak ramah, dan ancaman emosional. Mempengaruhi sisi psikologis dari dokter dan mengganggu rutinitas sehari-hari.
  • Tingkat 2: kekerasan verbal yang berat, misalnya penggunaan kata-kata kasar, ancaman mati, berkomentar secara ofensif, baik secara langsung maupun menggunakan telepon.
  • Tingkat 3: kekerasan fisik (mendorong, menendang/memukul, menggunakan objek seperti pisau atau pistol, menampar, mencekik, menarik rambut, yang menyebabkan gangguan moral dan psikologis namun tidak ada cedera fisik.
  • Tingkat 4: kekerasan fisik yang menyebabkan cedera parah seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dislokasi wajah, fraktur, dan gangguan psikologis.
  • Tingkat 5: kekerasan fisik yang menyebabkan cedera parah seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dislokasi wajah, fraktur, dan gangguan psikolog.

Oleh karena itu, manajemen risiko kekerasan pada nakes sangat penting untuk dilakukan. Terdapat beberapa cara untuk mengatasi kemungkinan kekerasan. Keahlian dalam berkomunikasi kepada pasien secara baik penting dimiliki seorang tenaga kesehatan untuk mencegah terjadi agresi.

Pada pasien ataupun keluarga pasien yang agresif, umumnya tindakan de-eskalasi merupakan cara yang pertama kali dipilih untuk menenangkan pasien. Apabila pasien bertindak agresif dan membahayakan diri sendiri atau orang lain, bisa dipertimbangkan tindakan restriksi dengan restrain atau penggunaan obat penenang.

PENCEGAHAN

Pencegahan tindakan agresif membutuhkan keahlian dan kepemimpinan yang kuat dari tenaga medis. Tenaga medis diharapkan mampu berkomunikasi dengan jelas, simpatik, tidak menghakimi, dan memberikan peran kolaborasi antara pasien dan tenaga medis. Ketika bertemu dengan pasien atau keluarga pasien, perkenalkan diri dengan sopan dan bersahabat.

Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, memastikan penerima informasi paham, dan bahasa tubuh yang baik penting dilakukan untuk membina hubungan baik dengan pasien. Apabila pasien mengalami disorientasi atau salah memberikan informasi, tenaga medis tidak perlu mengkonfrontasi atau bahkan mempermalukan pasien.

Membina hubungan yang baik tidak hanya pada pasien tetapi juga keluarga pasien. Keluarga pasien seringkali memiliki informasi yang dibutuhkan. Apa saja yang bisa memprovokasi pasien? Apa saja yang bisa menenangkan pasien? Keluarga juga terlibat dalam penentuan keputusan dan rencana perawatan pasien.

DE-ESKALASI

De-eskalasi adalah metode yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal, untuk menurunkan kemarahan dan agresi. Metode ini umumnya dilakukan dengan berkomunikasi, namun bisa ditambahkan pemberian medikamentosa terhadap pasien dengan agresi yang berat. Tujuan dari de-eskalasi adalah memberikan distraksi dan menenangkan pasien.Dalam melakukan de-eskalasi, tenaga medis diharapkan mampu mengenali tanda-tanda awal agresi. Tanda eskalasi yang bisa terjadi meliputi:

  • Bicara dengan nada keras
  • Pengguanaan bahasa yang tidak pantas, misalnya menggunakan bahasa yang tidak senonoh, melakukan intimidasi
  • Memaksakan tindakan yang tidak diperlukan
  • Menuduh tenaga medis berkonspirasi terhadap pasien
  • Agresi terhadap benda mati, misalnya melempar atau memukul
  • Tindakan agitasi, misalnya berjalan kesana-kemari, gerakan bola mata cepat, menginvasi ruang pribadi, mengepalkan tangan, mengatupkan rahang
  • Tidak mengikuti arahan dari petugas

Tindakan awal yang dilakukan adalah menjauhkan pasien agresif dari sumber yang memprovokasinya ke ruang yang lebih tenang dan nyaman, namun tidak mengisolasi tenaga medis. Ruangan tersebut harus bebas dari benda-benda tajam atau benda yang berpotensi membahayakan.

Tenaga kesehatan kemudian berkomunikasi dengan pasien untuk mengklarifikasi penyebab agresi dan mencari jalan keluar terbaik tanpa memprovokasi pasien. Tetap tenang dan bersahabat, kemudian menanyakan kepada pasien ”apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantu?”

Postur tubuh merupakan media komunikasi non verbal, dan de-eskalasi dilakukan dengan menjaga ketenangan emosional, tidak mengekspresikan kecemasan atau rasa frustrasi terhadap pasien, memvalidasi keluhan pasien, memberikan informasi dan dukungan emosional serta komunikasi yang disetujui bersama.

Apabila pasien atau keluarga pasien merespon dengan mengintimidasi dan menyakiti tenaga kesehatan secara verbal dan fisik , petugas rumah sakit harus mengimplementasikan konsekuensi yang sudah disepakati sebelumnya terhadap perilaku yang tidak aman dan tidak bisa diterima. Tindakan yang diambil bisa meliputi: Kode abu-abu (tanda tindakan agresif atau mengancam), peringatan tertulis dari petinggi rumah sakit, mengeluarkan pelaku dari rumah sakit lalu melakukan pertemuan lanjutan untuk meninjau kembali batasan yang ada.

MEDIKAMENTOSA

Ketika pemberian obat secara oral tidak memungkinkan atau dibutuhkan sedasi cepat, maka obat bisa diberikan melalui jalur parenteral. Pemilihan obat penenang berdasarkan gejala dan riwayat pasien. Obat antipsikotik lebih baik diberikan pada pasien psikosis, manik, atau delirium.

Benzodiazepine bekerja lebih baik pada gejala putus obat alkohol, epilepsi, penyakit Parkinson, atau demensia Badan Lewy. Apabila penggalian informasi kesehatan pasien tidak cukup untuk menentukan terapi pilihan, atau pasien sebelumnya tidak pernah menggunakan antipsikotik, diberikan lorazepam secara intramuskular. Lorazepam juga menjadi pilihan pada pasien psikosis dengan penyakit kardiovaskular

Penggunaan Intervensi Restriktif

Ketika de-eskalasi dan pemberian obat tidak mampu menenangkan pasien agresif, serta terdapat potensi tindakan yang mencederai diri sendiri dan orang lain, makan dapat dipertimbangkan intervensi restriktif. Restrain dilakukan oleh tenaga medis terlatih, baik secara manual atau mekanik. Restrain manual dilakukan secara fisik dengan tujuan imobilisasi pasien agresi secara aman.

Restrain mekanik menggunakan peralatan yang telah terstandar, misalnya dengan borgol atau sabuk pengikat. Restrain tidak dilakukan secara rutin dan harus dihentikan apabila pasien sudah tenang. Ketika melakukan restrain manual, tenaga medis harus menghindari menekan pasien ke lantai. Apabila terpaksa dilakukan, restrain dilakukan dengan posisi wajah menghadap ke atas dan tidak mengganggu jalan nafas dan sirkulasi pasien. Tidak dianjurkan melakukan restrain manual selama rutin selama lebih dari 10 menit.

KESIMPULAN

Tindakan kekerasan pada nakes semakin sering terjadi, tidak hanya dilakukan oleh pasien tetapi juga keluarga pasien. Tenaga kesehatan diharapkan memiliki pengetahuan, keahlian dan manajemen risiko yang mumpuni untuk mengatasi agresi pasien. Manajemen risiko di rumah sakit adalah kegiatan pengendalian yang menyeluruh berupa identifikasi dan evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit.

Tindakan awal yang dilakukan adalah mencegah agresi dengan kemampuan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal, yang baik serta memberikan peran kolaborasi terhadap pasien. Apabila terjadi eskalasi tindakan agresi, maka tenaga medis melakukan de-eskalasi dengan memisahkan pasien agresif ke ruangan tersendiri yang nyaman dan aman.

Kemudian dilakukan klarifikasi penyebab agresi dan mencoba bersama-sama mendiskusikan jalan keluar. Pada kasus dimana pasien tidak bisa ditenangkan secara komunikasi dan bertindak membahayakan diri sendiri atau orang lain, maka dipertimbangan intervensi restriktif dengan pilihan restrain dan obat penenang. Tindakan restriktif ini tidak dilakukan secara rutin dan memerlukan pemantauan tanda vital untuk memastikan keamanan pasien.(*)

*) drg. Cirska Nadia Putri

Dokter Gigi, Mahasiswi Pascasarjana Magister Manajemen Rumah Sakit Unisba

Referensi:

Kumari, dkk. 2020. Workplace violence against doctors: Characteristics, risk factors and mitigation strategies. J Postgrad Med. Jul-Sep;66(3):149-154


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.