ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Mengolah Limbah Tali Kapal Menjadi Lebih “Berumur Panjang”

August 25, 2022 by  
Filed under Lingkungan Hidup

Seorang pekerja pemintalan tali daur ulang di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, sedang mengurai dan memisahkan tali-tali limbah untuk dipintal ulang.

Posisi geografis Provinsi Kalimantan Timur  yang berbatasan laut dengan beberapa provinsi lain di Pulau Sulawesi, menjadikan Selat Sulawesi ramai dilayari kapal-kapal niaga maupun kapal penumpang berukuran besar.

Di Kalimantan Timur (Kaltim) sejak beberapa dekade telah menjadi daerah industri. Sebut saja Kota Balikpapan yang telah menemukan sumber minyak pertama tahun 1897 yang diberi nama Sumur Mathilda oleh kolonial Belanda.

Setelah kemerdekaan, di masa Orde Baru, Kota Bontang yang langsung berhadapan dengan laut Sulawesi, ditemukan sumber minyak dan gas (migas) dengan cadangan sangat besar. Pemerintah kemudian membangun kilang migas dan berbagai produk turunannya seperti pabrik pupuk maupun  Liquefied Petroleum Gas atau LPG.

Sejak tahun 2000-an, saat booming “emas hitam” batubara, ratusan kapal besar berlayar ke perairan Kaltim mulai dari muara Sungai Mahakam di Samarinda, perairan Kecamatan Muara Badak, perairan Bontang dan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur hingga ke utara di perairan Kabupaten Berau.

Dari ribuan unit kapal besar dan super besar tersebut, ternyata ada ancaman tersembunyi bagi lingkungan berupa limbah tali kapal yang apabila dibuang ke laut akan dapat merusak ekosistem laut dan perairan pantai.

Menurut  Sahabuddin (52), seorang pengrajin limbah tali bekas kapal asal Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat tiga jenis unsur yang terdapat di dalam sebuah tali kapal besar yaitu bahan sutra, plastik sintetis dan gabungan keduanya.

“Bahan plastik ini yang sangat berbahaya karena tidak dapat diurai oleh alam. Jadi limbah tali kapal ini sebagian tidak dapat diuraikan dan sebagian lagi dari bahan sutera relatif dapat terurai. Namun biasanya tali kapal bekas ini juga mengandung bekas minyak pelumas yang tidak baik bagi lingkungan,” ujarnya.

Sahabuddin menjadi satu-satunya warga di Kecamatan Muara Badak yang mendapatkan bantuan dari PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), karena telah memulai usaha pengolahan limbah tali bekas dari kapal-kapal besar.

Ternyata, dibalik kesusahan dan kesempitan hidup, setiap individu akan berusaha untuk survive untuk kelangsungan hidupnya. Begitulah yang ditunjukkan oleh sosok Sahabuddin, yang sebelum 2020 adalah salah satu karyawan kontrak di PHSS.

Sahabuddin, pemilik usaha tali daur ualng tengah memeriksa bahan baku usahanya yang diap untuk diurai dan dipintal ulang menjadi tali yang berukuran lebih kecil.

Disaat kontrak kerjanya berakhir, dan tidak diperpanjang bertepatan dengan awal pandemi Covid-19, dirinya terkena pemutusan hubungan kontrak kerja sehingga tidak dapat melanjutkan pekerjaan sebagai main power atau penyedia jasa tenaga kerja sebelum PT PHSS, yaitu PT Virginia Indonesia Company (Vico Indonesia).

Berbekal tabungan yang dimiliki, lelaki asal Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polmas, Sulawesi Barat ini menyempatkan pulang kampung di Sulawesi Barat. Karena ia ingat jika ada usaha pemintalan tali bekas serupa yang dikerjakan sebagian warga desa.

“Saya sengaja pulang kampung karena  ingat di kampung saya ada pengrajin tali bekas. Saya mencoba belajar bagaimana caranya karena saya melihat peluang pengolahan tali bekas ini terbuka lebar di tempat tinggal saya di Muara Badak,” ujarnya mengingat-ingat awal usahanya.

Dengan mengajak dua orang pekerja dari kampung halamannya, Sahabuddin membuka usaha  pemintalan ulang tali tambang kapal yang sudah tidak terpakai untuk didaur ulang menjadi tali pengikat rumpon atau bagan ikan di lautan.

Ia melihat peluang ini karena di kecamatan tersebut banyak pengumpul tali bekas tambang kapal yang dibeli pengepul. Biasanya satu kilogram tali bekas ini dibelinya antara Rp 8.000 hingga Rp 10.000, tergantung dari kerusakannya. Satu tali dapat mencapai 100-an kilogram.

Tali-tali ini kemudian dipotong menjadi beberapa bagian sepanjang 20 meter untuk diurai, dipisah-pisahkan. Untaian yang terlihat baru dan mulus tanpa lecet gesekan, nantinya akan menjadi “kulit” luar tali. Sedangkan bagian yang kotor karena pelumas akan menjadi inti tali. Dari pengalaman dan keahlian para pekerja, tali-tali ini dipintal ulang agar kembali menjadi tali “setengah baru”.

“Setengah baru karena ini sebenarnya tali bekas. Namun, masih dapat dipakai oleh para nelayan untuk mengikat rumpon ikan dan pengikat bagan di tengah laut,” jelasnya.

Setiap tali yang dibeli, diurai kembali dan dipintal ulang menggunakan peralatan sederhana seperti bor listrik untuk mengurai dan memintal tali. Dari pengalaman dan inovasinya,  Sahabuddin juga menciptakan  satu alat sederhana yang sudah didaftarkan untuk dapat dipatenkan.

Alat berupa tiang kayu yang diberi dinamo mesin ini berfungsi memintal untaian tali sepanjang ratusan meter. Alat ini rencananya akan dipatenkan karena tidak terdapat pada proses pemintalan ulang tali tambang sejenisnya di seluruh Indonesia.

Sahabuddin kini mempekerjakan delapan orang tenaga kerja setempat yang umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga. Setiap pekerja diupah sebesar Rp 80 ribu per harinya atau  Rp 2,4 juta per bulan jika tidak ada libur kerja. Pekerja dibagi dalam dua shift yaitu dari pukul 8 pagi hingga 13 siang dan dilanjut dari pukul 13 hingga pukul 5 sore.

Setiap gulungan tali tambang bekas ini mula-mula diurai dan disatukan kembali dengan ukuran panjang 20 meter dan diameter 20 inchi.  Setiap tali yang dipintal ulang juga harus diatur agar mengandung serat sutera, nilon dan kombinasi sutra-nilon.

Lelaki yang memiliki motto hidup ”bagaimana memberdayakan orang lain disekitarnya ” ini, telah memiliki pasar tetap  di Kota Bontang, yang memang geografisnya berhadapan langsung dengan laut Sulawesi.

Bantuan PHSS di tahun 2020 dan 2021, berupa bantuan bahan baku dan bangunan kerja sepanjang 120 meter serta bantuan peralatan lainnya, untuk mempercepat pekerjaan.

Dalam hitungannya,  lelaki yang kini memiliki teman di Facebook sebanyak 4,3 ribu orang, usahanya  mampu memproduksi kurang lebih 300 roll tali bekas yang masih memiliki masa pakai untuk beberapa keperluan.

Sebagai usaha yang inovatif, PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) sangat mengapresiasi ide usaha yang memang tidak pernah ada sebelumnya. Apalagi limbah tali dari kapal-kapal besar di Kecamatan Muara Badak dan sekitarnya, sangat berlimpah.

Head of Comrel and CID PT Pertamina Hulu Sanga Sanga, Elis Fauziah.

Sementara itu, Head of Comrel and CID PT Pertamina Hulu Sanga Sanga, Elis Fauziah, menjelaskan jika bantuan usaha pemintalan limbah tali kapal ini adalah program unggulan dari PHSS  dalam meningkatkan perekonomian masyarakat di Kecamatan Muara Badak.

Menurut Elis, ada beberapa program unggulan yang menjadi fokus kegiatan PHSS, diantaranya usaha peternakan ulat maggot, dan water system treatment atau lebih dikenal masyarakat dengan nama Pamsimas atau Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat.

Usaha pemintalan tali daur ulang ini adalah salah satu program unggulan Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) karena usaha ini memanfaatkan limbah yang tidak berguna lagi pabi pemilik kapal besar namun masih dapat dimanfaatkan untuk nelayan slake kecil dan menengah.

“Alhamdulillahnya usaha bapak-ibu di sini telah membuahkan hasil dengan memiliki pasar yang bisa dibilang permanen karena suplay nya terus diminta oleh pembeli terhadap usaha ini,” ujar Ellis.

Ibarat kata pepatah, usaha pemintalan tali ini gayung bersambut karena sejalan dengan komitmen PHSS untuk program pengembangan masyarakat yang mencari ide-ide khas dan inovatif dari masyarakat.

Apalagi pasar dari penjualan tali tambang daur ulang ini dapat dikatakan permanen karena pasarnya masih terbuka luas di seluruh Kaltim dan tidak menutup kemungkinan ke luar daerah.

“Kami dari sisi anggaran selalu dievaluasi  sesuai dengan kebutuhan secara bertahap kepada kelompok misalnya di tahun pertama diberikan bantuan fasilitasnya. Bahkan kami akan fasilitasi mesin karya Pak Sahabuddin  ke Kementerian Hukum dan HAM untuk didaftarkan hak patennya,” ucapnya.

Elis berharap usaha ini dapat menyerap tenaga kerja sekitar yang lebih banyak lagi. Berbagai cara promosi dan penjualan dilakukan agar tali “setengah baru” ini masih memiliki nilai lebih panjang untuk digunakan,  daripada harus dibuang dan menjadi bahan perusak lingkungan.(Penulis : Yuliawan Andrianto)

 

Berkat Pamsimas, Baju Sekolah yang Kekuningan Kini Putih Cemerlang

August 24, 2022 by  
Filed under Profil

Kualitas air Pamsimas Desa Saliki milik BUMDes Mekar Sejati setelah “dipecah” dengan cara aerasi bertingkat.

Seperti pada daerah pesisir umumnya di Kalimantan, lapisan bawah tanah memiliki sedimentasi lumpur yang berasal dari tumbuhan yang lapuk ribuan tahun yang lalu. Tumbuhan yang telah terjebak di dalam tanah ini menimbulkan bau tak sedap pada air. Selain itu kualitas air yang memiliki zat besi tinggi, warna airnya kuning kecokelatan.

Masyarakat Desa Saliki, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, misalnya, telah merasakan air baku mereka yang tidak layak untuk digunakan mencuci pakaian apalagi untuk dikonsumsi.

“Kalau dahulu, anak-anak sekolah dari Desa Saliki ini dapat dibedakan dengan baju anak sekolah lainnya di Muara Badak. Karena baju putih kami warnanya sedikit kekuningan,” ujar Maria (41)  tertawa mengenang masa kecilnya saat bersekolah.

Wanita yang kini telah menjabat sebagai Kepala Sekolah di SDN 002 Desa Saliki menceritakan, orang tuanya dahulu harus menampung air sumur  mereka dan dijernihkan dengan “obat air”. Jika endapan telah turun ke dasar bak penampungan, barulah air tersebut dapat digunakan.  Itupun jika digunakan pada kain berwarna putih, lama-kelamaan baju akan menjadi kuning kecokelatan. Kandungan minyak dan zat besi yang tinggi terlihat manakala permukaan air terlihat seperti  ada “lapisan pelangi”

“Jadi bak yang diberi obat air tidak  dapat langsung dipakai. Masih perlu waktu 1-2 hari untuk diendapkan. Jadi orang tua kita dulu harus memiliki bak penampungan yang banyak,” kenangnya.

Obat air yang dimaksud Maria adalah zat kimia bernama Aluminium sulfat yang memang dapat mengikat partikel-partikel kotor dalam air karena bersifat koagulan. Masyarakat umum mengenalnya dengan nama tawas atau istilah mereka “obat air”.

Kini, Maria dan keluarga merasakan manfaat keberadaan Pamsimas ini. Diakuinya saat ini pun ia memiliki dua bak penampungan besar yang setiap hari diisi dengan layanan air Pamsimas ini.  Kini Maria hanya perlu menyiapkan uang sebesar Rp 22 ribu hingga Rp 25 ribu untuk pemakaiannya selama sebulan.

“Setelah adanya fasilitas Pamsimas ini, anak-anak sekarang tidak lagi memiliki baju seragam berwarna kuning kecokelatan seperti kami dulu sekolah. Bahkan seragam anak-anak kini lebih putih dan cemerlang,” ujar Maria kembali tertawa.

Ketua BUMDes Mekar Sejati, Mansyur Amhas, menunjukkan bagaimana sistem injeksi penjernih air dengan beberapa kimia, diantaranya zat kaporit, penghilang kadar zat besi dan pembunuh kuman yang berbahaya bagi tubuh.

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah memberikan banyak bantuan untuk pembangunan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas). Hingga tahun 2022, tercatat ada 46 Pamsimas yang tersebar di puluhan desa, termasuk di Desa Saliki, Kecamatan Muara Badak, yang  diresmikan oleh Bupati Kukar Edi Damansyah pada tahun 2018.

Kabupaten yang memiliki luas wilayah 27.267,10 Kilometer persegi (Km2) ini, memiliki 18 kecamatan. Kecamatan yang berada di pedalaman yaitu Kecamatan Loa Janan, Loa Kulu, Muara Muntai, Muara Wis, Kota Bangun, Tenggarong, Tenggarong Seberang, Sebulu, Muara Kaman, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang.  Sementara itu, beberapa kecamatan yang berada di pesisir yaitu Samboja, Sanga Sanga, Muara Jawa, Anggana,  Muara Badak, dan Marangkayu.

Kabupaten yang berada di pedalaman umumnya memiliki sumber daya alam batu bara dan bahan galian lainnya sedangkan kecamatan yang berada di pesisir umumnya banyak ditemukan kandungan minyak dan gas.

Menurut data Sensus Penduduk tahun 2020 Badan Pusat Statistik  Provinsi Kaltim, jumlah penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) sebanyak 734.485 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan, 44 kelurahan dan 193 desa.

Cerita pendirian Pamsimas di desa Saliki, dituturkan oleh Kepala Desa Saliki Kecamatan Muara Badak, Saliansyah. Menurutnya, pada tahun 2016 dimulailah pengusulan pembangunan instalasi air bersih ini.  Dengan bantuan dari perusahaan saat itu VICO Indonesia sebesar Rp 208 juta untuk pembangunan pagar, bak penampungan, tower air, pompa, serta beberapa penyaring (filter) air.

Masyarakat penerima manfaat Pamsimas dikenakan retribusi air sesuai kubikasi pemakaian, yakni 1 – 10 meter kubik  sebesar Rp 2.500,- per meter kubik dan minimal pemakaian adalah 10 meter kubik atau Rp 25.000 perbulan. Kemudian jika pemakaian lebih dari 10 meter kubik maka kubik ke 11 dan seterusnya dikenakan retribusi sebesar Rp 3.500,- per meter kubik.

“Pamsimas Badak Mekar kini telah bisa mendiri bahkan bisa berkontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Desa Saliki. Pada tahun 2021 keuntungan Pamsimas Badak Mekar mencapai Rp 120 juta dan disetorkan sebagai PAD Desa Saliki sebesar Rp 24 juta,” jelasnya.

Menurunya, target Pamsimas ke depan adalah meningkatkan kapasitas air bersih dengan menambah sumur volume air bor dan menambah bak penampungan. Sehingga diharapkan dapat menambah kapasitas sambungan air dan jam distribusi air yang saat ini hanya 5 jam per hari, menjadi minimal 12 jam.

Selanjutnya, ujar Saliansyah, akan dilakukan replikasi program Pamsimas ini ke wilayah lain yang belum mendapatkan air bersih yakni di wilayah RT 5 dan 6 di lapangan Nilam dalam desa yang sama.

Sementara itu, Ketua BUMDdes Mekar Sejati,  Mansyur Amhas menjelaskan sejak pertama kali beroperasi, kapasitas Pamsimas ini telah mampu melayani hingga 400 rumah atau sekitar lebih dari 2 ribu jiwa.

Namun seiring dengan berjalannya waktu,  Pamsimas ini juga sudah harus melalui berbagai tahapan perawatan dan peningkatan peralatan agar mampu memberikan pelayanan yang lebih luas ke masyarakat.

Tingginya pemakaian masyarakat, sehingga pengelola memberlakukan dua jam operasi yaitu pada pukul 07.00-10.00 dan pukul 16.00-18.00. “Air yang kita proses setelah pukul 10.00 akan kita gunakan untuk operasional pada sore harinya, begitu seterusnya. Air proses malam untuk digunakan pada siang harinya,” jelas Mansyur.

Dengan kedalaman sumur bor 120 meter, diakui Mansyur jika air yang dihasilkan tidak dapat langsung diminum karena fasilitas Pamsimas ini hanya fasilitas air bersih, bukan untuk konsumsi langsung.  Apalagi kondisi air tanah di desa ini, masih bercampur dengan zat besi yang tinggi, mengandung sedikit minyak dan rasa yang sedikit berbau dan payau.

Diakuinya, untuk menjadikan air yang wilayahnya dekat dengan pesisir pantai ini layak dipakai, haruslah diperlakukan sedikit ekstra. Menara air setinggi 10 meter menjadi penanda jika air di sekitar Pamsimas masih berbau khas rawa-rawa.

Dengan menara yang memiliki empat kali penyaringan ini , air yang masih berbau “dipecah” oleh oksigen dengan sistem aerasi. Kemudian air dialirkan ke bak-bak penampungan dengan pencampuran beberapa bahan  kimia seperti kaporit (Calcium hypochlorite) untuk membunuh kuman, larutan  penjernih dan bahan kimia lainnya untuk menghilangkan kadar zat besi air.

Menurut Mansyur, kualitas air Pamsimas mereka setiap tahunnya dilakukan uji kelayakan agar air yang dihasilkan dapat digunakan sebagai air bersih dan dapat digunakan sebagai air minum bagi warga, melalui proses perebusan.

‘Dari Pamsimas ini kami juga memiliki usaha depot air minum isi ulang melalui proses ionisasi dan inframerah sehingga dari pemeriksaan laboratorium depot kami dinyatakan layak sebagai air minum isi ulang yang dapat langsung tanpa dimasak,” ujar Mansyur bangga.

Pamsimas yang diresmikan oleh Bupati Kukar Edi Damansyah tahun 2018 ini telah menghabiskan dana sebesar Rp 356.635.667 juta, diantaranya  berasal dari dana APBN Rp 245 juta dan dana APBDes sebesar Rp 38 juta.

Head of Comrel and CID PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), Elis Fauziah.

Menanggapi keberadaan Pamsimas di area kerjanya,  Head of Comrel and CID PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), Elis Fauziah mengatakan ada beberapa program binaan PHSS di wilayah Kecamatan Muara Badak, diantaranya  usaha pemintalan tali bekas, usaha peternakan ulat maggot dan Pamsimas di Desa Saliki ini.

“Program Water Supply System (WSS) di Desa Saliki ini merupakan program kolaborasi dari program perusahaan, pemerintah kabupaten dan masyarakat melalui BUMDes Mekar Sejati Desa Saliki sebagai pengelola air bersih,” ujarnya.

Dijelaskan Elis, pada 2016 PHSS membantu pembangunan bak penampungan, pagar beton keliling, dan peningkatan water system treatment yang lebih baik lagi.

Diakuinya, bantuan yang  telah diberikan oleh Pertamina masih belum besar dengan apa yang telah  diberikan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. “Terpenting adalah apa yang telah kami diberikan membawa manfaat yang besar bagi masyarakat,” ujarnya merendah.

Ditambahkan Elis, untuk tahap selanjutnya adalah replikasi program WSS di lapangan Nilam yakni untuk wilayah RT 5 dan 6 yang masih masuk dalam wilayah administratif Desa Saliki.  Strategi pendampingan nantinya, ujar Elis akan  menggunakan metode pendekatan partisipatif yakni perencanaan program menggunakan metode button up planning.

“Dimulai dengan melakukan survey social mapping, musyawarah rencana kerja, perencanaan strategis (renstra) dengan mengangkat potensi lokal sesuai karakter masing-masing tempat,” jelasnya.

Ada empat  bidang program corporate social responsibility (CSR) yang akan dan telah direalisasikan oleh PHSS yaitu pengelolaan bank sampah untuk program lingkungan, penyediaan air bersih, pendirian rumah literasi di Kecamatan Samboja yang merupakan program Pendidikan  dan Penyediaan Klinik Kesehatan Berjalan (mobile) serta bantuan modal usaha UMKM untuk bidang ekonomi.

Bahkan penyediaan air bersih bagi desa ini, PHSS berhasil meraih dua penghargaan Kategori Gold untuk aspek Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat pada “Indonesia CSR Awards 2020” yang diadakan pada 6 November 2020.

Kedua penghargaan tersebut diberikan kepada PT Pertamina Hulu Sanga Sanga  untuk Program Water Supply System (WSS) di Desa Saliki, Kecamatan Muara Badak dan Program Rumah Literasi Kreatif (Rulika) Bunga Kertas di Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.

Indonesia CSR Awards 2020 merupakan ajang penghargaan tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Corporate Forum for Community Development (CFCD) bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan didukung penuh oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

“Sebagai salah satu anak perusahaan PT Pertamina Hulu Indonesia, PHSS berkomitmen untuk memastikan perusahaan dapat terus menghasilkan migas bagi Indonesia secara selamat dan berkelanjutan, serta menjalankan program-program CSR yang menghasilkan manfaat yang signifikan terhadap masyarakat,” ucap Ellis.(Penulis : Yuliawan Andrianto).