ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Warga Pinggir Kota Perlukan Perhatian Pemerintah

June 27, 2009 by  
Filed under Opini

Share this news

Desa Bayur di Kecamatan Samarinda Utara hanya “selemparan batu” dari pusat kota yang berjarak hanya 15 Km atau hanya berjarak 5 Km dari jalan utama. Namun jangan dibayangkan jalanan menuju desa tersebut mulus beraspal hotmix. Jalannya banyak lubang dalam bergelombang akibat aktivitas perusahaan tambang batubara yang memanfaatkan jalan negara dan sebagian jalan lainnya dengan  aspal yang terkelupas.  Jangan bayangkan pula ada fasilitas kesehatan yang memadai apalagi ada dokter praktek. Satu-satunya fasilitas kesehatan hanya berupa sebuah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Ketika seorang ibu melahirkan, hanyaj dukun beranank kampung yang menolong. Kalaupun ada bidan, tentu harus ditempuh dengan perjalanan yang cukup melelahkan. Sekolah pun hanya ada satu SD, sedangkan sekolah tingkat pertama dan lanjutan  harus ditempuh dengan jarak lebih dari 5 Km. Warga pinggiran dimanapun di wilayah Kota Samarinda tampaknya memiliki potret yang sama dengan Desa Bayur ini. Pembangunan hanya terpusat di kota dan sedikt sekali menyentuh warga pinggiran. Ketika vivaborneo.com dan Cv.Mudika mengadakan khitanan massal pada 21 Juni lalu, anak-anak asal desa Bayur ini mendominasi 30 kuota yang disediakan panitia. Jumlah mereka 10 orang. Rencana awal khitanan massal ini mengutamakan anak-anak kurang mampu secara ekonomi. Formulir pun disebar tim ke sejumlah tempat di Samarinda dengan porsi antara 3-5 anak per lokasi. Ketika desa Bayur mendapat jatah 3 anak, tiga hari kemudian data membengkak menjadi 8 dan menjelang hari pelaksanaan membengkak lagi menjadi 10 anak. Ketika panitia hanya menambah jatah 3 anak lagi menjadi 6 orang, membuat 4 anak lainnya menangis sesunggukan karena sedih tidak dapat berkhitan bersama-sama. Untungnya, panitia berbaik hati untuk menyanggupi mengkhitan 4 anak sisanya dengan mendapatkan fasilitas sama dengan teman-teman lainnya berupa khitan dengan system coutter (tidak menggunakan gunting untuk memotong, melainkan menggunakan panas api. Dimasyarakat dikenal dengan sebutan “sunat laser”, walaupun sebenarnya bukan), anak-anak juga mendapat bingkisan sarung, peci, baju koko dan sejumlah uang serta obat-obatan.
Begitu mengetahui mereka mendapat jatah untuk berkhitan bersama-sama dengan teman-teman lainnya, meledaklah kebahagian dan kecerian mereka dan orang tua mereka.
Bagaimana tidak, dari 10 anak yang di khitan vivaborneo.com, 2 orang diantaranya tidak memiliki orangtua utuh alias bercerai dengan penghasilan kurang dari Rp.20.000 per hari yang berasal dari upah sebagai buruh tani.
Sebut saja, Muhamad Dody (9) telah putus sekolah sejak 2 tahun lalu dan hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD saja. “Nanti setelah sunat (khitan) baru sekolah lagi,” ujarnya gembira. Anak lainnya yang kurang beruntung bernama Jopi (8). Walaupun masih bersekolah, Jopi yang tidak banyak bicara ini hidup dengan dua orang adiknya, dan dengan ibunya yang terkadang sering “hilang ingatan”. Bisa dibayangkan betapa beratnya beban hidup yang mereka pikul.
Anak-anak di desa Bayur ini, sepulang sekolah pasti membantu orangtua mereka, ke sawah, kebun atau sekedar mencari ikan di sungai dan sawah-sawah setempat untuk dijual. Waktu bermainpun hanya mereka lakukan disela-sela pekerjaan mereka membantu orangtua tadi.
Para orangtua  yang mendengar anak mereka akan berkhitan, dengan gembira mempersiapkan diri sehari sebelumnya. Ternyata, masalah muncul lagi ketika hari pelaksanaan dimulai. Pasalnya, anak-anak dan orangtua yang berjumlah 20 orang tidak mendapatkan angkutan ketika hendak berangkat. Bagaimana tidak, angkutan kota (angkot) yang melayani trayek Pasar Segiri- Desa Bayur ini hanya berjumlah 5 buah saja yang terbagi dalam dua grup, 3 pagi dan 2 untuk sore hari hingga pukul 17.00. Angkutan pagipun seperti sudah terjadwal keberangkatannya. Pukul 07.00, pukul 09.00 dan pukul 11.00 siang.
Tak pelak, angkutan yang membawa mereka ke tempat berkhitan tidak tersedia. Dari 10 orangtua/wali anak, hanya 2 orang saja yang memiliki kendaraan roda dua. Setelah menghubungi panitia, akhirnya diputuskan untuk menjemput (dan memulangkan mereka juga tentunya) anak-anak dan orangtua anak.
Kegembiraan orangtua juga terlihat dengan antusiasnya mereka untuk mengantar anak-anak berkhitan. Acara dimulai pukul 09.00, tetapi mereka sudah berkumpul sejak pukul 07.00. Selain itu mereka juga tetap menjaga kearifan local dengan membawa beberapa “pinduduk” sebagai syarat untuk keselamatan dan kelancaran acara. “Pinduduk” yang mereka bawa berupa beras baru, gula aren, kelapa tua dan beberpa jenis bumbu dapur.
Usai acara khitanan, para anak dan orang tua terlihat sangat bahagia. “Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada panitia yang telah melaksanakan acara khitanan ini. Hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan bapak-ibu semua,” ujar Rafiie, usai acara. Betapa bahagianya para orang tua telah dapat mengkhitn anak-anak mereka yang akan menginjak remaja dengan tidak mengeluarkan biaya sedikitpun. Untuk berkhitan, memang dibutuhkan biaya antara Rp. 350.000 hingga Rp. 700.000 per anak. Dengan bantuan panitia dan sponsor, satu beban orangtua telah lepas dari pundak mereka. Semoga anak-anak dapat tumbuh dengan sehat dan berguna bagi bangsa ini. Semoga!. (yuliawan andrianto)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.