Disdikbud Kaltim Dorong Pelestarian Lewat Muatan Lokal

November 5, 2025 by  
Filed under Berita

Share this news

Buku muatan lokal bahasa daerah di Kaltim (foto: ainul)

SAMARINDA – Upaya pelestarian bahasa daerah di Kalimantan Timur kini mendapat tempat resmi dalam dunia pendidikan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim memastikan bahwa muatan lokal (Mulok) berbasis bahasa daerah, sumber daya alam, dan seni budaya telah diterapkan di seluruh jenjang SMA, mulai dari kelas X hingga kelas XII.

Subkoordinator Kurikulum dan Penilaian Disdikbud Kaltim, Atik Sulistiowati, mengatakan pengembangan muatan lokal bahasa daerah ini telah berjalan sejak 2023 dan kini memasuki tahun ketiga.

“Kalau tahun 2023 untuk kelas 10, tahun 2024 kelas 11, dan sekarang kami menyusun untuk kelas 12. Jadi, targetnya lengkap sudah tiga jenjang belajar muatan lokal Kaltim,” ungkapnya, Selasa (4/11/2025).

Atik menjelaskan, program ini melibatkan 20 penulis dan dua mentor akademisi yang menggarap materi berdasarkan keragaman bahasa dan budaya di Kalimantan Timur. Terdapat enam jenis muatan lokal yang bisa dipilih sekolah, dengan bahasa daerah menjadi fokus utama, disusul tema seni budaya dan sumber daya alam.

“Sekolah bebas memilih sesuai karakter daerahnya. Misalnya, di Paser memilih Bahasa Paser, di Berau memilih Bahasa Berau, di Kutai memilih Bahasa Kutai. Tujuannya agar siswa tetap mengenal dan menghargai bahasa daerahnya masing-masing,” ujarnya.

Ia menekankan, pengenalan bahasa daerah di sekolah merupakan bagian dari upaya penyelamatan bahasa yang terancam punah. Menurut hasil riset Balitbangda Kaltim, bahasa Kutai Muara Kaman bahkan sudah kehilangan penutur aslinya.

Atik memandang, pelestarian bahasa daerah harus dimulai sejak dini dari sekolah. Bila tidak diperhatikan, Kaltim bisa kehilangan identitas budaya. Karena pada hakikatnya, muatan lokal merupakan bentuk nyata dari kearifan lokal.

“Anak-anak harus tahu bahwa bahasa daerah mereka adalah bagian dari warisan budaya yang harus dijaga,” tegasnya.

Pelaksanaan muatan lokal ini diatur dalam Permendikbud Nomor 13 Tahun 2025 tentang struktur kurikulum, yang menetapkan mata pelajaran pilihan muatan lokal dengan beban 2 jam pelajaran (JP). Sekolah diberi keleluasaan untuk menentukan bahasa daerah yang relevan dengan lingkungannya.

Namun, pelaksanaan di lapangan tidaklah mudah. Salah satu kendala utama adalah minimnya tenaga pendidik dan penulis yang benar-benar menguasai bahasa daerah.

“Misalnya untuk Bahasa Berau, sulit sekali mencari guru atau penulis yang benar-benar penutur asli. Akhirnya kami bekerja sama dengan komunitas dan penutur lokal untuk membantu penyusunan materi,” jelas Atik.

Selain itu, terdapat kendala administratif dalam sistem kepegawaian (Dapodik). Guru yang mampu mengajar bahasa daerah, namun bukan berasal dari jurusan bahasa, tidak bisa dihitung jam mengajarnya.

“Ada guru yang bisa berbahasa daerah dengan baik, tapi karena bukan guru bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, jamnya tidak diakui dalam tunjangan sertifikasi. Ini juga jadi persoalan nasional,” ungkapnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Disdikbud Kaltim menjajaki kerja sama dengan Universitas Mulawarman guna memberikan pelatihan dan tambahan kompetensi bagi guru bahasa Indonesia agar mampu mengajar bahasa daerah.

“Harapan kami, anak-anak Kaltim bisa tumbuh dengan rasa bangga pada bahasanya sendiri. Karena siapa lagi yang akan menjaga kalau bukan mereka? Kalau di Bali anak wajib bisa Bahasa Bali, di Yogyakarta Bahasa Jawa, maka di Kaltim seharusnya kita juga menjaga Bahasa Kutai, Paser, Berau, dan lainnya,” papar Atik.

Sejalan dengan kekhawatiran Disdikbud Kaltim, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, penggunaan bahasa daerah di Indonesia nyatanya memang semakin menurun, terutama di kalangan generasi muda.

Penduduk berusia 60 tahun ke atas masih menjadi kelompok terbanyak yang menggunakan bahasa daerah di rumah, yakni 83,27%. Sementara itu, di kelompok usia 5—17 tahun, angkanya turun drastis menjadi 68,04%. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia di rumah justru tertinggi di kalangan usia muda (31,81%), dan terendah pada usia 60 tahun ke atas (16,42%).

Tren serupa juga terlihat dalam pergaulan sehari-hari. Pengguna bahasa daerah tertinggi masih berasal dari kelompok usia lanjut (76,78%), sedangkan anak-anak dan remaja hanya 50,21%. Sementara penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan justru mendominasi pada kelompok usia muda.

Data tersebut menunjukkan minat anak muda terhadap bahasa daerah terus menurun, baik di rumah maupun di lingkungan sosial. Jika tidak diantisipasi sejak dini, dikhawatirkan bahasa-bahasa daerah akan semakin terpinggirkan dan kehilangan penutur aslinya. (ain)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.

  • vb

  • Pengunjung

    900520
    Users Today : 3220
    Users Yesterday : 2949
    This Year : 748896
    Total Users : 900520
    Total views : 9565222
    Who's Online : 20
    Your IP Address : 216.73.216.55
    Server Time : 2025-12-05