ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Tata Ritual Berubah, Warga Tionghoa Gelisah

July 22, 2020 by  
Filed under Serba-Serbi

Share this news

Samarinda – Peniadaan tata ritual persembahyangan yang dilakukan oleh Ketua Kelenteng Thien Ie Kong , membuat warga Tionghoa gelisah. Keinginan mereka, tata ritual dikembalikan seperti semula hingga saat ini belum juga ditanggapi oleh jajaran pengurus Kelenteng.

Juru Bicara Forum Umat Peduli Kelenteng Thien Ie Kong Samarinda (FUPK-TIK Samarinda), Efendy Utomo.

Berkaitan dengan hal itu, sejumlah warga Tionghoa yang tergabung dalam Forum Umat Peduli Kelenteng Thien Ie Kong Samarinda (FUPK-TIK Samarinda) mendesak agar pihak Yayasan Dharma Bahkti (YDB) untuk turun tangan dan bertindak tegas agar tata ritual pesembahyangan yang telah berlangsung sejak 115 tahun itu dikembalikan seperti semula.

Desakan itu disampaikan oleh juru bicara (FUPK-TIK Samarinda), Efendy Utomo kepada sejumlah wartawan pada jumpa pers yang berlangsung di Gedung PWI Kaltim, Selasa (21/7/2020).

Menurut Efendy, YDB harus ikut bertanggungjawab atas kegelisahan umat yang salama ini terjadi, karena Kelenteng berada di bawah naungan YDB.

Dikatakan, umat mendesak YDB untuk bertindak, karena memang menjadi tugas dan tanggungjawab yayasan yang menaungi kegiatan kelenteng. Apalagi yayasan pernah menerima aliran dana dari kelenteng yang merupakan sumbangan dari umat untuk kegiatan Kelenteng TIK.

“Karena itu, pihak yayasan tidak bisa berpangku tangan, terhadap situasi yang terjadi di Kelenteng TIK, apalagi berkaitan dengan kebutuhan dan kegelisahaan umat yang berhubungan dengan peribadatan yang telah berlangsung ratusan tahun,” tegas Efendy.

Selain itu umat juga minta agar keberadaan petugas lotung yang selama ini dianggap memiliki andil besar terhadap peniadaan ritual di Kelenteng TIK agar ditinjau ulang.

Efendy Utomo mengatakan peniadaan tata ritual yang dilakukan oleh Ketua Kelenteng dan jajarannya, menimbulkan pertanyaan dan kegelisahan dari sejumlah umat, karena hal tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan umat dan sejumlah pengurus kelenteng lainnya.

Peniadaan yang dimaksud, yakni atribut atau peralatan peribadatan yang biasa ditemui di masing-masing altar singgasana para Dewa di dalam kelenteng yang berdiri sejak 1905 itu, justru berubah dan bahkan dihilangkan, sehingga berdampak terhadap suasana kebatinan yang dirasakan ketika berdoa di depan Dewa yang sudah tidak dilengkapi sejumlah atribut seperti biasanya.

Padahal sebagai pengurus kelenteng, hanya bertugas melayani atau memfasilitasi keperluan atau kepentingan umat untuk urusan peribadahan. Tetapi tidak berhak atau memiliki kewenangan mengubah ritual peribadatan, apalagi yang sifatnya sangat mendasar.Jika hal seperti ini dibiarkan, dikhawatirkan akan berkembang lebih parah dan terjadi ritual yang menyimpang.

Menurut Efendy, kelenteng yang beralamat di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Pelabuhan, Samarinda Kota, itu terdapat tujuh Dewa yang memiliki kelebihan masing-masing. Salah satunya merupakan Dewa tuan rumah. Setiap Dewa biasanya dilengkapi sejumlah atribut.Berupa tempat dupa, tempat lilin, minyak serta tempat untuk menaruh sesembahan dari umat.

Namun sejak sejak Juni 2020, semuanya berubah.Para Dewa sudah tidak lagi dilengkapi sejumlah atribut pelengkap seperti biasanya.“Altar persembahyangan dan perlengkapan yang biasa ada di dekat Dewa, kini sudah tidak ada lagi,” kata Efendy.

Menurut dia, tata ritual yang selama ini dilakukan oleh para leluhur, memegang teguh pada ajaran Tri Dharma dan berpedoman pada Kitab Tao.Termasuk yang dilakukan oleh umat yang sembahyang di Kelenteng TIK Samarinda dan itu sudah berlangsung sejak 115 tahun lalu.

Dikatakan Efendy peniadaan tata ritual tersebut dilakukan dengan alasan keamanan dan mengurangi risiko kebakaran. Aalasan tersebut menurutnya tidak mendasar. Karena selama ini, tidak pernah terjadi apa-apa di kelenteng tersebut walaupun banyak dupa dan lilin yang mengelilingi di sekitar para Dewa. Risiko banyak asap dupa dan bahaya kebakaran yang mungkin dijadikan alasan tersebut, katanya, sangat tidak tepat.

Demikian juga halnya dengan prosesi kesurupan yang dijadikan dasar guna meminta restu dewa untuk melakukan perubahan ritual persembahyangan di Kelenteng yang telah berusia 115 tahun itu, juga diangap tidak sepatutnya dilakukan..

“Di dalam kelenteng, pasti banyak dupa dan asap. Selama ratusan tahun tidak pernah terjadi apa-apa.Juga tidak ada keluhan.Sehingga perubahan yang terjadi terkesan sepihak tanpa melibatkan sejumlah pihak yang berkompeten, termasuk prosesi kerasukan yang dilakukan juga kami nilai sangat tidak mendasar,” tegasnya.

Peniadaan itu melanggar etik beribadah. Juga mengganggu religi serta kebatinan umat ketika memanjatkan doa di hadapan para Dewa yang tidak dilengkapi sejumlah atribut lagi. Apalagi setiap aturan dan perlengkapan para Dewa di altar memiliki pertimbangan Feng Shui yang sudah begitu dipercaya.Feng Shui adalah ilmu topografi kuno dari China yang memercayai bagaimana manusia, surga, dan bumi dapat hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan.

Tentang Hio Lo dalam Taoisme & Fengshui

Sementara itu, salah satu rohaniawan Tionghoa Julius Lim, berpandangan perubahan tersebut melanggar ketentuan tentang Hio Lo dalam Taoisme dan Feng Shui yang selama ini sebagai pedoman sejak ribuan tahun lalu.

Menurut dia, Hio lo merupakan unsur penting dalam sebuah Kuil/Klenteng karena hio lo merupakan tempat berkumpulnya energi Chi Positif dan media penghantar doa/pesan kepada Sang Dewa. Karena itu itu keberadaan Hio lo merupakan faktor utama sebuah Kuil Pemujaan Dewata.

Bahkan Rupang/pratima/patung bisa digantikan dengan papan nama, tetapi tidak dengan Hiolo. Karena unsur Dewa adalah Yang (positif) maka hio lo haruslah terbuat dari kuningan utk menampung energi positif agar tidak buyar.Berbeda dengan unsur Yin (orang meninggal) hendaknya memakai hio lo keramik agar hawa Yin tidak terlalu besar.

Karena itu dengan meniadakan Hiolo di dalam kelenteng merupakan kesalahan fatal dalam pandangan ilmu Taoisme dan Fengshui karena sama saja membuyarkan Chi dari kelenteng itu sendiri. Menempatkan Hio lo menjadi satu di luar kelenteng tidak bisa menampung energi positif karena tidak dalam suatu formasi susunan diagram yang tepat.

“Perlu diketahui bahwa bangunan sebuah kelenteng memakai sebuah susunan diagram formasi yg komplek ditujukan agar pesan dan harapan yg disampaikan umat kepada Langit dapat tersampaikan dengan sempurna,” ujarnya. (*)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.