ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Belantara Foundation Dukung Pemerintah Mewujudkan Manusia dan Gajah Liar Hidup Harmonis

January 28, 2025 by  
Filed under Lingkungan Hidup

Vivaborneo.com — Belantara Foundation menyelenggarakan acara peresmian menara pantau gajah liar serta penyerahan sumbangan peralatan mitigasi konflik manusia-gajah. Menara ini diserahkan kepada masyarakat di Desa Jadi Mulya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada Sabtu, 25 Januari 2025.

Sejak 2022, Belantara Foundation menjalankan program Living in Harmony (Kita Bisa Hidup Berdampingan), yaitu sebuah program kolaboratif yang bertujuan untuk mendorong hidup berdampingan. Selain itu terwujudnya harmonisasi antara manusia dengan gajah liar yang hidup pada sebuah ekosistem yang sama di Lanskap Padang Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan.

Dalam implementasi kegiatan yang sudah berjalan sekitar 3 tahun ini, Belantara Foundation mendapat pendanaan dari Keidanren Nature Conservation Fund (KNCF) Jepang serta menggandeng Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa (PJHS), Rumah Sriksetra, Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Serta pemangku kepentingan lainnya seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, para perusahaan pemegang konsesi kehutanan dan Pemerintah Desa Jadi Mulya.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna saat memberikan sambutan pada acara peresmian menara pemantauan gajah mengatakan bahwa Lanskap Padang Sugihan di Kabupaten OKI, merupakan salah satu  kantong persebaran gajah yang bukan hanya penting di Sumatera Selatan, tetapi sangat penting di Pulau Sumatera, karena kelompok gajah disini memiliki jumlah populasi yang berpotensi untuk mendukung pelestarian gajah sumatra secara jangka panjang.

“Oleh karena itu, program konservasi gajah sumatra kami lakukan bersama para mitra berfokus pada tiga aspek, yaitu pelatihan mitigasi konflik manusia-gajah, penyadartahuan dan edukasi kepada anak-anak mengenai pelestarian gajah dan ekosistemnya, serta penanaman pakan gajah dan penggaraman tanah untuk memenuhi kebutuhan minaral yang menjadi nutrisi tambahan bagi gajah”, ujar Dolly, yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan.

Pada aspek mitigasi konflik, diberikan pelatihan kepada masyarakat di lima desa yang diikuti setidaknya 75 orang, dengan tujuan agar masyarakat bisa menangani konflik gajah secara mandiri sebelum petugas berwenang datang.

Lima desa yang menjadi mitra Belantara yaitu Desa Jadi Mulya, Desa Simpang Heran, Desa Banyu Biru, Desa Sri Jaya Baru, dan Desa Suka Mulya. Saat ini telah terbentuk setidaknya tiga kelompok masyarakat yang bertugas sebagai tim mitigasi konflik di Desa Jadi Mulya, Desa Simpang Heran dan Desa Banyu Biru.

Selain meningkatkan kapasitas melalui pelatihan, kami juga mendukung pembangunan infrastruktur berupa dua unit menara pantau gajah di Desa Jadi Mulya dan Desa Simpang Heran, sebagai sarana pendukung dalam mitigasi konflik manusia-gajah. Sebagai tambahan, Belantara Foundation juga menyumbangkan enam unit Handy Talkie, satu unit teropong, serta 31 unit meriam karbit portabel dan 31 unit senter.

Dalam aspek penyadartahuan dan pendidikan, Belantara Foundation melibatkan pendongeng untuk melakukan penyadartahuan dan edukasi tentang pentingnya hidup harmonis antara manusia dengan gajah sumatra, melalui cara-cara yang inovatif berupa dongeng menarik yang diikuti lebih kurang 400 siswa dan 60 guru yang berasal dari tujuh Sekolah Dasar (SD) yang ada di lima desa di Kabupaten OKI. Sebagai tindak lanjutnya, kami menyusun buku modul kurikulum muatan lokal untuk siswa SD kelas 4 sampai 6 tentang pelestarian gajah sumatra dan habitatnya.

Aspek ketiga, kami menyiapkan sedikitnya lima tempat menggaram bagi gajah liar di beberapa koridor ekologis di Lanskap Padang Sugihan. Tempat menggaram (salt licks) artifisial ini amat penting bagi gajah sumatra untuk pemenuhan kebutuhan mineral yang menjadi nutrisi tambahan bagi gajah. Tempat menggaram ini akan mendorong gajah untuk tetap berada di dalam koridor, untuk membantu mencegah gajah masuk ke pemukiman masyarakat.

“Kami akan terus mendorong dan mengajak para pihak yang lebih luas lagi, seperti pemerintah, sektor swasta, dan media, untuk bahu-membahu dan berkontribusi pada program mitigasi konflik manusia-gajah. Kami berharap program ini dapat memperkuat program konservasi gajah yang telah dilakukan pemerintah sehingga dapat tercipta harmonisasi dan koeksistensi antara manusia dengan gajah di Lanskap Padang Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatra Selatan,” tegas Dolly.

Pada waktu yang sama, Polisi Hutan Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Sumatera Selatan, Bapak Ruswanto mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik dan mengapresiasi program yang dijalankan Belantara Foundation dan para mitra dalam upaya mitigasi konflik manusia-gajah di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. “Menara pantau gajah yang didirikan serta sumbangan peralatan pendukung mitigasi konflik akan dapat menguatkan sarana dan prasarana serta kesiapan masyarakat desa dalam mengatasi interaksi negatif manusia dengan gajah liar”, ujar Ruswanto.

Lebih lanjut, Ruswanto menegaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, gajah sumatra termasuk ke dalam satwa liar dilindungi. Menurut The International Union for Conservation of Nature’s Red List of Threatened Species (IUCN), saat ini gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) berstatus Critically Endangered (kritis).

“Inisiatif Belantara Foundation dan para mitra ini sangat bagus dan kami berharap program konservasi gajah yang ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi konflik manusia-gajah yang ada di Provinsi Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten OKI”, tutup Ruswanto.

Sementara itu, Kepala Desa yang diwakilkan oleh Sekretaris Desa Jadi Mulya, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, Heryanto, S.IP., menjelaskan warga Desa Jadi Mulya merupakan masyarakat transmigrasi yang diprogramkan pemerintah pada 1983 dan pada tahun tersebut belum pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan gajah. Hal ini karena pada saat itu gajah sudah digiring ke wilayah selatan lanskap oleh pemerintah melalui  Operasi Ganesha.

Setelah kebakaran hutan yang amat hebat pada 1991 dan 1997, konflik antara masyarakat dengan gajah mulai terjadi karena gajah-gajah yang digiring ke selatan tersebut kembali. Pasca kebakaran hutan di 2015, gajah-gajah liar mulai sering masuk ke area persawahan maupun pemukiman masyarakat terutama pada saat musim tanam padi yang mengakibatkan kerusakan pada area tersebut sehingga masyarakat banyak mengalami kerugian.

“Dengan adanya dukungan dari Belantara Foundation bersama para mitra berupa pembangunan menara pantau gajah serta pendampingan yang konsisten dan berkelanjutan, kami telah mendapatkan banyak sekali manfaat. Manfaat tersebut antara lain menara pantau gajah ini lokasinya diujung desa dan tepat di lokasi keluar – masuk gajah dari hutan ke pemukiman, jadi akan memudahkan bagi tim mitigasi konflik dalam mendeteksi kehadiran gajah saat gajah masih jauh dari batas desa,” ujar Heryanto.(*)

Belantara Foundation Paparkan Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu pada Pertemuan Internasional di Semarang

March 21, 2023 by  
Filed under Daerah

Vivaborneo.com, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyelenggarakan pertemuan internasional dan pelatihan peningkatan kapasitas solusi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta dampak covid-19 terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Pertemuan ini bekerja sama dengan Komite Nasional Program MAB-UNESCO Indonesia-BRIN, UNESCO Jakarta Office, ICESCO, Balai Taman Nasional Karimunjawa Balai Taman Nasional Gunung Merapi dan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu untuk pemulihan ekonomi dan ekosistem di cagar biosfer mulai 14 Maret hingga 16 Maret 2023 di Semarang.

Pada kesempatan ini, Belantara Foundation diundang untuk memaparkan pembelajaran tentang kemitraan pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB), Riau kepada dunia internasional.

Belantara Foundation bermitra dengan pemangku kepentingan setempat dalam pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari sektor pemerintah, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang meliputi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, APP Sinarmas, Proforest, Earthworm, Winrock, Koalisi CORE dan WRI Indonesia. Setiap sektor memiliki peran pentingnya masing-masing yang berfokus pada program restorasi ekosistem, proteksi dan konservasi keanekaragaman hayati serta pemberdayaan masyarakat.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna menjelaskan sejak tahun 2020 hingga 2023, Belantara Foundation bersama pemangku kepentingan setempat telah merestorasi lahan gambut yang terdegradasi di kawasan Cagar Biosfer GSK-BB dengan menanam spesies pohon asli dan terancam punah. Hingga kini, total area yang telah direstorasi telah mencapai luasan 75 hektar.

Belantara Foundation juga mendukung LSM lokal untuk melestarikan gajah sumatra beserta habitatnya. Implementasi yang dilakukan yaitu membantu mengembangkan dan peningkatan kapasitas bagi enam kelompok masyarakat desa untuk memitigasi konflik manusia-gajah.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna memaparkan pembelajaran tentang kemitraan pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB), Riau pada pertemuan internasional di Semarang.

Selain itu juga membangun menara pemantauan, melakukan edukasi dan penyadartahuan di tujuh sekolah dasar yang berdampingan dengan habitat gajah, patroli mitigasi konflik manusia-gajah dengan luas area lebih kurang 88.000 hektar.

Tidak hanya itu, Belantara Foundation juga mendukung masyarakat lokal untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif. Dukungan tersebut berupa memberikan peningkatan kapasitas untuk budidaya madu dan budidaya ubi kayu, memasang 45 papan nama yang menginformasikan bahaya kebakaran hutan, larangan pembakaran hutan, dan larangan penebangan liar.

Di samping itu, Belantara Foundation juga mendukung dan mengembangkan Stasiun Penelitian Lahan Gambut Humus di Cagar Biosfer GSK-BB untuk penelitian jangka panjang tentang ekosistem lahan gambut dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Stasiun penelitian ini menyediakan fasilitas, infrastruktur, serta peningkatan kapasitas bagi mahasiswa, dosen, peneliti, praktisi, dan lainnya,” ujar Dolly, yang juga sebagai Ketua LPPM Universitas Pakuan.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Komite Nasional MAB UNESCO Indonesia-BRIN, Y. Purwanto menegaskan pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB harus dilakukan secara bersama-sama.

“Cagar Biosfer GSK-BB dapat menjadi sarana untuk melaksanakan komitmen bangsa Indonesia dalam melaksanakan berbagai konvensi terkait dengan lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim,” tegas Purwanto.

Sementara itu, Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Anang Setiawan Achmadi mengemukakan bahwa keberadaan Cagar Biosfer GSK-BB dirancang untuk menyelaraskan antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan sosial-ekonomi sekaligus melestarikan nilai-nilai budayanya.

Cagar biosfer adalah kawasan yang terdiri dari ekosistem unik, asli atau terdegradasi. Akan tetapi, keberadaannya dilindungi serta dilestarikan untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Salah satunya adalah Cagar Biosfer GSK-BB, Riau.

Cagar Biosfer GSK-BB merupakan cagar biosfer pertama di dunia yang diprakarsai dan dikelola bersama oleh sektor swasta dan publik. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh MAB-UNESCO pada tahun 2009.

Kawasan ini meliputi 705.271 hektar lahan gambut yang terbagi menjadi zona inti (25 persen), zona penyangga (32 persen), dan zona transisi (43 persen) di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak, Riau, Sumatra.

GSK-BB merupakan salah satu hutan gambut tropis terbesar di Sumatra yang memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mengubah gaya hidup masyarakat lokal ke arah penghidupan yang lestari dan berkelanjutan.

Di samping itu, kawasan ini juga merupakan habitat bagi satwa liar karismatik seperti harimau sumatra, gajah sumatra, beruang madu dan tapir. Namun, beberapa kawasan hutan pada lanskap ini telah terdegradasi karena kebakaran hutan dan kegiatan illegal lainnya.(*)