ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Keluar dari OPEC, Indonesia jadi Pengimpor Minyak

October 18, 2021 by  
Filed under Ekonomi & Bisnis

engamat dan pakar Migas Indonesia, Prof. DR-Eng.Ir. Rudi Rubiandini

Vivaborneo.com, Samarinda — Indonesia sebagai negara pengekspor minyak dan gas pada Era Orde Baru, sejak tahun 2003 telah menjadi negara pengimpor minyak dari negara-negara lain. Ini disebabkan besarnya permintaan akan bahan bakar minyak, namun cadangan migas Indonesia semakin menipis.

Hal tersebut terungkap pada Temu Media Daerah dengan Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) Wilayah Kalimantan-Sulawesi yang berlangsung di Hotel Aston, pada Rabu (13/10/2021).

Pengamat dan pakar Migas Indonesia, Prof. DR-Eng.Ir. Rudi Rubiandini mengatakan keluarnya Indonesia sebagai negara pengekspor minyak menjadi negara pengimpor  dikarenakan menurunnya tingkat eksplorasi migas untuk menemukan cadangan minyak baru.

Saat migas berjaya di orde lama dan orde baru, Indonesia tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Kini Indonesia telah non aktif dari organisasi yang beranggotakan negara-negara pengekspor minyak tersebut karena Indonesia telah menjadi negara importir.

“Saat ini konsumsi BBM di Indonesia sebesar 1,6 juta barel per hari, sementara produksi hanya sebesar 700-an ribu barel. Indonesia setiap hari harus mengimpor sekitar 900 ribu barel,” jelas Rudi.

Dengan kekurangan ini, Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) memiliki target produksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari. Jika satu barrel = 259 liter, maka akan dipatok 159.juta liter migas per hari yang dipatok hingga pada tahun 2030.

Dengan panjang lebar Prof Rudi mengisahkan jika pada era Presiden Soekarno dan Soeharto, sumber minyak Indonesia  banyak mengundang investor asing untuk pengerjaan eksplorasi karena bagi hasil yang ditawarkan oleh pemerintah saat itu sangatlah menarik. Namun kini,  saat sumur-sumur migas tersebut menurun produksinya, insentif yang ditawarkan pemerintah tidak begitu menarik bagi investor.

“Sumur-sumur migas kita ibarat sudah menjadi nenek-nenek. Sudah peot. Tidak bisa lagi ditawarkan dengan bagi hasil seperti masa Presiden Soekarno ataupun Soeharto. Begitupun di Kalimantan, tidak ada lagi sumber migas yang ada di daratan. Eksplorasinya sudah bergeser ke rawa-rawa maupun lautan lepas,” tegasnya.

Untuk mencapai target 1 juta barel minyak per hari (bpd), maka Pertamina harus melakukan pencarian sumur minyak baru ataupun mengaktifkan sumur-sumur tua yang masih berfungsi hingga saat ini. Sumur tua peninggalan Belanda, misalnya kebanyakan dalamnya hanya  sekitar 600 meter. Jika di bor lebih dalam kemungkinan untuk mendapatkan cadangan minyak masih terbuka.

“Namun siapa yang mau menjadi investornya? Karena biayanya sangat mahal dan insentif atau bagi hasil yang ditawarkan pemerintah tidak menarik. Jadi masalah ada di pemerintah pusat dalam membuat kebijakan,” ujarnya.

Turut hadir dalam acara Temu Media Samarinda ini yaitu Manajer Senior Humas Perwakilan Kalimantan-Sulawesi, Wisnu Wardhana dan Head od ComRel dan CID Zona 9, Shanti Radianti.

Acara yang berlangsung sejak pukul 09.00 Wite ini dihadiri sekitar 30 orang wartawan di Samarinda. Panitia SKK Migas Kalimantan- Sulawesi menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk acara di hotel Aston ini. sebelum masuk ke ruang acara panitia menyediakan tes antigen dan menyediakan masker serta hand sanitizer.(Vb/Yul)