ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Keterwakilan Perempuan dalam Politik Demokrasi

March 5, 2024 by  
Filed under Opini

Share this news

Oleh: Ria Atia Dewi, S.I.Kom, M.Sos

Pesta demokrasi diselenggarakan dalam proses pemilihan umum (pemilu), menjadi system bernegara yang memartabatkan manusia. Demokrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh besar dalam pengambilan keputusan, dan mampu mengubah kehidupan yang mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dalam praktik kebebasan berpolitik.

Salah satu kebijakan pemilu yang mewajibkan 30 persen keterwakilan perempuan menjadi salah satu bentuk kesetaraan yang diberikan dalam pesta demokrasi. Peran strategis yang dimiliki mampu menjunjung tinggi hak asasi perempuan berbasis kesetaraan dan keadilan gender.

Peran perempuan dalam pesta demokrasi, hadir untuk menjaga legitimasi politik pemilih, serta mewujudkan pemilu yang demokratis. Salah satunya prinsip adil, yang berarti pemilih dan peserta pemilu mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga kehadiran perempuan dalam politik tidak lagi terkurung dalam kegelapan intelektual.

Posisi perempuan yang dulunya mendapatkan banyak penolakan dan tidak diperkenankan sekolah, dan hanya melakukan tugas dalam rumah tangga. Namun kini, perempuan dapat mencicipi akses pendidikan, bahkan ikut serta dalam pembahasan arah kemajuan bangsanya.

Tujuan kehadiran perempuan dalam politik dengan cara yang kompetitif, pemilu diharapkan dapat berjalan dengan cara yang bebas dari segala bentuk mobilisasi politik, baik dengan iming-iming uang, barang, jasa, jabatan maupun dengan intimidasi, tekanan dan paksaan yang membuat peserta pemilu tertentu dapat dipastikan menang sebelum semua tahapan pemilu berakhir.

Melalui sistem pemilu terbuka yang dilaksanakan, dapat diartikan sebagai pemilu yang mampu melibatkan semua pihak, sehingga pelaksanaannya transparan, akuntabel, kredibel dan partisipatif. Peran Perempuan dalam pesta demokrasi dengan tujuan untuk menjaga legitimasi politik pemilih, untuk mewujudkan pemilu yang demokratis.

Namun, dalam representasi perempuan dalam bidang politik saat ini dapat dikatakan pada posisi yang jauh dari harapan, perempuan yang terjun dalam dunia perpolitikan masih terbelenggu dengan latar belakang, budaya patriarki, serta perbedaan gender. Meskipun sampai saat ini selalu ada upaya untuk memperbaiki persoalan tersebut, melalui keterwakilan perempuan di parlemen, nyatanya masih jauh dari kata memuaskan.

Undang-undang no.10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 menerapkan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Angka tersebut tidak sepenuhnya tercapai, justru menimbulkan pro dan kontra dalam partai. Hal ini kemudian menimbulkan persepsi posisi perempuan yang ikut bertarung dalam ranah politik masih begitu sulit.

Hal ini tidak terlepas pada pengaruh budaya patriarki masih sangat kuat terjadi. Sistem patriarki saat ini masih kuat dalam kehidupan masyarakat, anggapan yang menyatakan posisi perempuan masih berada pada posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah dan harus dilindungi, dan perlakukan sesuai dengan kemauan laki-laki.*

 


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.