ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Terkena PHK, Puluhan Pekerja Menginap di Kantor Dinas Tenaga Kerja

September 21, 2020 by  
Filed under Serba-Serbi

Share this news

Samarinda – Puluhan pekerja asal Nusa Tenggara Timur (NTT) terpaksa menginap di Aula Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertras) Provinsi Kaltim Jalan Kemakmuran Samarinda.

Keberadaan mereka sejak 16 September 2020 lalu karena diusir untuk meninggalkan mes setelah diputus hubungan kerja (PHK) oleh PT CAK, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kampung Begai, Kecamatan Muara Lawa, Kutai Barat.

Beberapa di antara mereka suami istri membawa anak-anak. Ada juga pasangan yang punya bayi baru usia empat bulan. Sampai saat ini, mereka mendapat bantuan beras, mie instan dari organisasi kedaerahan NTT di Kaltim Rumah Flobamora dan beberapa pendonor lain.

“Kami tetap bertahan sampai nasib para buruh ini jelas. Mereka kena PHK sepihak oleh perusahaan,” ungkap Kornelius Wiriyawan Gatu, Wakil Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kaltim, pendamping para pekerja tersebut saat ditemui awak Mediadi lokasi, Minggu (20/09/020).

Kornelius menjelaskan peristiwa PHK dan pengusiran puluhan pekerja tersebut, bermula saat mereka melakukan aksi penolakan RUU Omnibus Law di Samarinda, pada 25 Agustus 2020 lalu.

Dijelaskan, sebelum berangkat ke Samarinda, pada 22 Agustus 2020 para pekerja ini mengajukan izin ke perusahaan. Pada 23 Agustus izin tertulis keluar. Bahkan di hari sama para buruh sempat ketemu pimpinan perusahaan dan menyampaikan demo merupakan bagian dari hak pekerja untuk berpendapat dan mempersilakan untuk demo. Perusahaan memberi izin hanya satu hari tanggal 25 Agustus. Karena itu, tanggal 24 Agustus para pekerja masih bekerja seperti biasa.

“Esoknya tanggal 25 Agustus. Kami berangkat dari Kutai Barat ke Samarinda subuh pakai truk, motor dan pik up sebanyak 37 pekerja,” terang dia.

Tiba di Lebak Cilong pertengahan Kutai Barat menuju Samarinda sebagian buruh dari perusahaan lain sudah menunggu. Lokasi itu disepakati sebagai titik kumpul. Saat itu sekitar 300 pekerja dari Kutai Barat, Kutai Kertanegara dan beberapa kabupaten lain di Kaltim menggelar aksi penolakan RUU Omnibus law di Samarinda. Aksi digelar tiga titik yakni Kantor Kejati Kaltim, Kantor Disnakertrans dan DPRD Kaltim.

Usia aksi para pekerja kembali bekerja ke perusahaan masing-masing, termasuk puluhan pekerja asal NTT yang kemudian di PHK tersebut.

Karena perjalanan dari Samarinda – Kutai Barat lumayan jauh sekitar 8 jam, hari itu para pekerja tak langsung sampai di lokasi perusahan.

“Kemalaman mereka nginap di Kantor SPN Kutai Barat. Esoknya tanggal 26 Agustus 2020 baru mereka menuju lokasi kebun di Kampung Begai, Kecamatan Muara Lawa,” terang dia.

Siang hari saat tiba di lokasi perusahaan, 37 pekerja ini langsung dijauhi oleh sesama rekan pekerja lain. Alasannya dituduh membawa Covid-19 dari Samarinda.

“Mental mereka langsung down begitu teman-teman mereka menghindar. Perusahaan bilang mereka membawa virus Covid-19,” tegas Kornelius.

Esoknya tanggal 27 Agustus 2020 saat apel pagi dihadapan semua pekerja, perusahaan meminta 37 pekerja yang dituduh membawa virus Covid-19 tersebut meninggalkan mes.

“Malamnya sekitar jam 12 datang beberapa preman ditemani pimpinan perusahaan mematikan lampu dan menendang pintu barak (mes) meminta mereka keluar,” jelas dia.

Perusahaan juga memutus aliran listrik ke mes tersebut sehingga malam itu proses pengusirannya gelap gulita. Bebebapa unit truk sudah berjejer. Para pekerja dipaksa naik truk dengan semua barang-barangnya dibawa keluar dari areal perusahaan.

“Proses pengusiran itu memang tidak manusiawi. Para buruh diusir tengah malam dengan cara represif. Padahal ada anak-anak, ada bayi usia 4 bulan diusir malam itu,” tutur Kornelius.

Esoknya, tanggal 28 Agustus perusahaan mengeluarkan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi 37 pekerja tersebut.

Puluhan pekerja ini sempat terlantar di Kutai Barat kemudian menuju Samarinda. Mereka kemudian melakukan rapid tes mandiri di salah satu klinik di Samarinda dengan biaya Rp 500 ribu per orang. Hasinya, semua dinyatakan non reaktif.

Sementara itu, Kuasa Hukum Para Buruh, Ones De Jong mengaku, dirinya akan membawa psemua perkara yang ada ke ranah hukum. Menurutnya, Pengusiran yang dilakukan oleh perusahaan sudah melanggar pidana.

“Kami akan tempuh jalur hukum dengan pidana, dan juga pencemaran nama baik karena mereka dituduh positif Covid-19,” jelasnya.

Salah satu pekerja yang diusir perusahaan, Maria mengaku harus ikut membawa bayinya yang berusia 5 bulan untuk mengungsi. Hal ini dilakukannya karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi di Kubar.

“Terpaksa, ini bayi saya tiap malam kedinginan, pakaian seadanya,” ungkapnya.

Kondisi bayi Maria berkelamin laki laki itupun sangat memprihatinkan. Pada usia tersebut, tubuhnya tidak tumbuh dengan normal. Bahkan, untuk pasokan susu anaknya, dirinya mengaku sudah hampir habis dan tidak mampu membeli.

“Saya harap ini segera mendapatkan hak-kami dan kami meminta keadilan,” tutupnya. (man)


Share this news

Respon Pembaca

Silahkan tulis komentar anda...





Redaksi menerima komentar terkait artikel diatas. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak tidak menampilkan komentar jika mengandung perkataan kasar, menyinggung, mengandung fitnah, tidak etis, atau berbau SARA.