ArabicChinese (Simplified)EnglishFrenchGermanIndonesianKorean

Mangrove Coffee Talk: Fokus Nasional Rehabilitasi dan Restorasi Mangrove untuk Perubahan Iklim

June 3, 2023 by  
Filed under Lingkungan Hidup

Vivaborneo.com, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Klaster Filantropi Lingkungan Hidup & Konservasi (KFLHK), Belantara Foundation selaku Ketua KFLHK, Climateworks Center dan KADIN Indonesia menyelenggarakan Mangrove Coffee Talk bertajuk Menilik Rehabilitasi dan Restorasi Mangrove untuk Perubahan Iklim di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Kegiatan ini bertujuan untuk mengarusutamakan ko-kreasi dan kolaborasi aksi kolektif multi-pihak untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs dan agenda perubahan iklim, mengedukasi terkait aspek penting rehabilitasi dan restorasi mangrove kepada seluruh pemangku kepentingan.

Selain itu untuk memaparkan praktik baik mengenai aksi kolektif rehabilitasi dan restorasi mangrove serta mendiskusikan potensi pilot project serta rencana tindak lanjut antara KADIN Indonesia, PFI, dan KFLHK.

Memasuki Decades of Action, aksi kolektif sangat penting menjadi motor penggerak bagi multi-pihak dalam pencapaian SDGs khususnya terkait aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu aksinya melalui program rehabilitasi dan restorasi mangrove.

Luas lahan mangrove di Indonesia tercatat sebagai yang terbesar dan paling produktif di dunia, yaitu sekitar 3,4 juta hektar atau sekitar 20 persen daril luas lahan mangrove di dunia. Mangrove memiliki potensi luar biasa sebagai salah satu mitigasi berbasis alam untuk perubahan iklim.

Pada Mangrove Coffee Talk, Wakil Ketua I Komite Tetap Pengendalian dan Evaluasi DAS, Hutan Lindung dan Mangrove KADIN Indonesia, Chintya Dian Astuti, memaparkan Rencana Aksi Kolaborasi Rehabilitasi dan Restorasi Mangrove. Pada kesempatan yang sama, Local Champion Mangrove dari Kabupaten Indramayu, Surita bercerita tentang potensi hutan mangrove bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir Kabupaten Indramayu.

Selain itu, Head of Corporate Communications and Sustainability PT Indika Energy Tbk, Ricky Fernando menjelaskan praktik baik yang dilakukan oleh Indika Nature dengan IMPACT Program. Kemudian, Local Champion Mangrove dari Desa Lori, Kec. Tanjung Harapan, Paser, Kaltim, Muhammad Arfah bercerita tentang potensi kembalinya hutan mangrove bagi kehidupan masyarakat pesisir Desa Lori.

Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI, yang juga Anggota KFLHK, Toufik Alansar, memaparkan praktik baik yang dilakukan oleh Yayasan KEHATI terkait rehabilitasi dan restorasi mangrove untuk kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ini dimoderatori oleh Fundraising & Outreach Coordinator Belantara Foundation, Ahmad Baihaqi.

Wakil Ketua I Komite Tetap Pengendalian dan Evaluasi DAS, Hutan Lindung dan Mangrove KADIN Indonesia, Chintya Dian Astuti mengatakan bahwa sinergi antara lembaga filantropi dan sektor swasta adalah esensial dan penting serta dapat menjadi kekuatan besar dalam menyelesaikan tantangan iklim serta pembangunan berkelanjutan.

Pada Desember 2022 lalu, PFI dan KADIN Indonesia berkomitmen mendorong terciptanya aksi kolektif filantropi dan sektor swasta agar berkontribusi dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Aksi kolektif ini ditandai dengan pemaparan dari KADIN Indonesia bahwa dua wilayah telah ditetapkan sebagai area intervensi sekaligus menjadi Piloting Project Mangrove KADIN Indonesia yaitu di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dengan program bernama IMPACT. Program tersebut diinisiasi oleh PT Indika Energy Tbk. dan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat yang digagas oleh PFI dan KFLHK.

Penyadartahuan dan edukasi terkait aspek penting rehabilitasi dan restorasi mangrove terus dilakukan kepada seluruh pemangku kepentingan.  Oleh sebab itu, KADIN Indonesia, PFI, dan KFLHK mengajak dan mendorong anggotanya untuk berbagi pengalaman, memetakan kontribusi dan kolaborasi agar tercipta program rehabilitasi dan restorasi mangrove secara berkelanjutan.

“Harapannya, melalui kegiatan ini akan tersusun sebuah rencana aksi yang lebih konkrit, inklusif dan progresif serta pendanaan secara gotong-royong bersama antara lembaga filantropi dan sektor swasta”, tandas Chintya.

Turut hadir secara daring Country Lead – Indonesia Climateworks Center & Anggota KFLHK, Guntur Sutiyono dan Ketua Komite Tetap DAS, Hutan Lindung dan Mangrove, KADIN Indonesia, Toddy M. Sugoto. Kegiatan ini juga dihadiri perwakilan 36 lembaga secara luring, mulai dari sektor akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, komunitas penggiat lingkungan, media hingga sektor swasta yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup khususnya mangrove. (vb/*)

 

 

Menempatkan Filantropi sebagai Tombak Penyebarluasan Pengetahuan Perubahan Iklim

April 4, 2023 by  
Filed under Lingkungan Hidup

Vivaborneo.com — Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini menerbitkan Laporan Sintesis atas Laporan Penilaian Keenam. Laporan tersebut memperingatkan pemanasan global di abad ini telah mencapai 1,1 derajat celcius dan akan melampaui batas 1,5 derajat celcius jika tidak ada penurunan drastis pada emisi gas rumah kaca (GRK). Bagi banyak negara, perubahan iklim telah terlihat dan seringkali melanda masyarakat yang paling rentan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Indonesia semakin khawatir dengan dampak perubahan iklim. Akan tetapi, penyebaran pengetahuan tentang lingkungan dan perubahan iklim yang tidak merata telah menghambat beberapa upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Kegiatan diseminasi pengetahuan perlu dilaksanakan dengan baik untuk melengkapi kerangka peraturan perubahan iklim yang telah diterbitkan oleh pemerintah Indonesia seperti target Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui dan net zero emission untuk tahun 2045 yang dihasilkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Penelitian dari Yale Program on Climate Change Communication menunjukkan bahwa dua pertiga dari 1.178 responden Indonesia mengaku hanya tahu sedikit atau belum pernah mendengar tentang perubahan iklim.

Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemangku kepentingan utama seperti korporasi, yayasan dan filantropi di Indonesia memiliki pemahaman yang mendalam tentang risiko terkait iklim atau tidak. Menjadi pioner dalam aksi iklim bukanlah tugas yang mudah.

Hal ini membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang pandangan masyarakat dan keselarasan iklim dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Filantropi dan yayasan adalah salah satu kelompok pemangku kepentingan utama yang dapat memperkuat pesan tentang risiko terkait perubahan iklim.

Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Koordinator Klaster Lingkungan dan Konservasi Filantropi Indonesia.

Filantropi memainkan peran penting dalam respons dunia terhadap perubahan iklim dengan menargetkan geografi, industri, dan masyarakat tertentu yang paling membutuhkan dukungan sehingga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan sistem iklim.

Lanskap filantropi di Indonesia sejauh ini terkait erat dengan aspek sosial dan budayanya. Dalam beberapa tahun terakhir, filantropi dan yayasan di Indonesia sudah berupaya untuk menyelaraskan strategi mereka dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Termasuk penyebab lingkungan dan perubahan iklim. Namun hanya 19% filantropi di Indonesia yang telah menjalankan program terkait iklim, dan mayoritas dari mereka mendukung kesehatan dan pendidikan, berdasarkan Filantropi Indonesia 2022.

“Laporan IPCC baru-baru ini memperjelas bahwa kita memerlukan tindakan segera dan nyata untuk melakukan perubahan apapun dalam mengurangi krisis iklim. Salah satu caranya adalah memperkuat regulasi yang akan mendorong terobosan-terobosan yang signifikan,” ujar Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI.

“Lembaga filantropi perlu memprioritaskan program dan kegiatan terkait krisis iklim, serta mengambil peran dalam mengatasi dampak perubahan iklim,” tambah Guntur Sutiyono, Indonesia Country Lead Climateworks Center.

Filantropi perlu menjadi bagian dari momentum perubahan iklim dan membangun pengetahuan tentang apa itu perubahan iklim, risiko iklim apa yang mereka hadapi, dan apa relevansi perubahan iklim dengan program mereka yang ada.

Salah satu jaringan filantropi Indonesia, Perhimpunan Filantropi Indonesia, memahami urgensi iklim yang mengakibatkan terbentuknya klaster filantropi lingkungan dan konservasi sebagai jangkar kegiatan mitigasi dan adaptasi iklim. Klaster ini mengakomodasi yayasan yang tertarik untuk memanfaatkan kolaborasi aksi iklim di antara para anggotanya.

“Klaster filantropi lingkungan dan konservasi aktif mendorong keterlibatan lembaga filantropi untuk mengatasi masalah lingkungan. Kami juga menyediakan forum diskusi bagi para penggiat lingkungan untuk dapat memberikan ide-ide dalam pelestarian lingkungan. Kegiatan seperti peningkatan kapasitas dan pendampingan teknis bagi staf lembaga tentang pengetahuan perubahan iklim telah dilakukan dan akan dilakukan secara berkala,” ujar Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Koordinator Klaster Lingkungan dan Konservasi Filantropi Indonesia.

Perubahan iklim adalah isu lintas sektoral. Internalisasi strategi aksi iklim sangat penting bagi filantropi yang bergerak tidak hanya di bidang lingkungan atau konservasi tetapi juga di bidang lain seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan kelompok terpinggirkan, dan pembangunan ekonomi lokal.

Pencapaian dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini membutuhkan partisipasi semua pemangku kepentingan dengan mengejar kreasi dan kolaborasi multi-stakeholder. Dalam dekade ini, aksi kolektif menjadi sangat penting untuk menjadi motor penggerak antar pemangku kepentingan untuk saling melengkapi dan mempercepat pencapaian agenda bersama terkait perubahan iklim.(vb/*)

 

 

Pentingnya Inovasi Teknologi Dalam Upaya Konservasi Biodiversitas

March 28, 2023 by  
Filed under Lingkungan Hidup

Vivaborneo.com — Belantara Foundation menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Inovasi Teknologi untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati” di Auditorium Rektorat Universitas Pakuan, Bogor, pada Selasa (28/03/2023).

Acara ini  bekerja sama dengan LPPM Universitas Pakuan (Unpak), Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Unpak, FMIPA Unpak, Scientific for Endangered and Trafficked Species (SCENTS), Yayasan SINTAS Indonesia, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Center for Transdisciplinary and Sustainable Science (CTSS) IPB University dan Forum Harimau Kita.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna mengatakan tujuan utama kegiatan ini untuk mengidentifikasi kebutuhan inovasi teknologi yang dibutuhkan guna mendukung pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversitas) di Indonesia.

“Di kampus, kami terus berupaya mendorong terciptanya kolaborasi antara dosen dengan pihak pengguna, agar luaran-luaran riset dosen dapat langsung diaplikasikan sesuai kebutuhan pengguna,” ujar Dolly, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unpak.

Kegiatan ini  tentu akan menjadi peluang yang besar bagi insan akademik untuk turut berperan serta dalam mengembangkan teknologi yang dibutuhkan dalam riset-risetnya.

 “Diskusi yang mempertemukan praktisi konservasi dan akademisi ini menjadi sangat penting dalam membahas kebutuhan lapangan, serta mencari solusi teknologi yang dapat diaplikasikan agar biodiversitas Indonesia tetap lestari,” lanjut Dolly.

Berdasarkan laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) memaparkan bahwa saat ini status biodiversitas di bumi semakin mengkhawatirkan.

Para ilmuwan mengungkapkan lebih dari 80 persen biomassa satwa menyusui telah hilang dari bumi disebabkan oleh kerusakan ekosistem yang mengalami kerusakan 100 kali lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir.

Tanpa sadar, penurunan biomassa yang sangat signifikan ini, menyebabkan dampak dan kerugian yang sangat besar untuk seluruh biodiversitas di bumi.

Dokumen Rencana Aksi dan Strategi Biodiversitas Indonesia 2015-2020 menjelaskan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat endemisitas biodiversitas yang sangat tinggi karena memiliki kondisi geologi dan iklim yang unik.

Indonesia merupakan rumah bagi 10 persen tumbuhan berbunga, 15 persen serangga, 25 persen ikan, 16 persen amfibia, 17 persen burung, dan 12 persen mamalia dari seluruh yang ada di dunia.

Berdasarkan Buku Panduan Identifikasi Jenis Satwa Liar Dilindungi yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2019 mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 409 spesies amfibi (urutan ke-5 dunia), 755 spesies reptilia (urutan ke-3 dunia), 1.818 spesies burung (28 persen di antaranya  endemik) dan 776 spesies mamalia (36 persen diantaranya endemik). Dengan adanya sifat endemis tersebut, perlindungan dan konservasi biodiversitas sangat penting dan prioritas dilakukan.

Namun demikian, keberadaan biodiversitas di Indonesia juga tidak luput dari berbagai ancaman yang dapat mengarah pada kepunahan. Ancaman terbesar, terutama bagi flora dan fauna endemik, disebabkan oleh kehilangan habitat sebagai dampak dari degradasi dan deforestasi atau penggundulan hutan.

Degradasi dan deforestasi tersebut terjadi terutama disebabkan oleh kerusakan habitat, baik karena bencana alam, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan dan perubahan iklim, alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, industri,  serta pemukiman masyarakat. Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah perburuan satwa liar yang didorong oleh perdagangan secara ilegal.

Pada saat yang sama, Rektor Universitas Pakuan, Prof. Dr. Didik Notosudjono, M.Sc. menyatakan bahwa inovasi teknologi dapat berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan efektivitas upaya perlindungan dan konservasi biodiversitas di Indonesia.

“Insan akademik di perguruan tinggi yang salah satu tugasnya melaksanakan penelitian, dituntut untuk menghasilkan sebuah karya riset yang dapat dimanfaatkan oleh para pengguna. Dengan demikian, para dosen dan mahasiswa dapat mengembangkan berbagai riset teknologi yang luarannya dapat langsung dimanfaatkan baik untuk kebutuhan monitoring maupun untuk mendukung upaya perlindungan habitat flora dan fauna, sehingga pelestarian biodiversitas di Indonesia menjadi lebih efektif,” ujar Didik.

Direktur CTSS IPB University, Prof. Dr. Damayanti Buchori mengemukakan bahwa Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University sebagai pusat studi yang mengembangkan ilmu-ilmu terbaru tentang keberlanjutan juga terus melibatkan peran teknologi dalam pengembangan ilmu tersebut.

Penelitian transdisiplin berusaha untuk memahami masalah dan fenomena yang kompleks yang tidak dapat sepenuhnya mampu dijelaskan oleh satu disiplin atau metodologi. Pendekatan ini mendorong integrasi pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk peran teknologi.

Pendekatan transdisiplin sangat relevan dengan pengembangan dan penerapan teknologi. Pendekatan transdisiplin dapat menyatukan para pemangku kepentingan dari berbagai bidang untuk bekerja secara kolaboratif dalam menghadapi tantangan inovasi teknologi.

Hal ini dapat mengarah pada penciptaan teknologi yang lebih inovatif dan berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan beragam komunitas dan pemangku kepentingan.

Pendekatan transdisipliner dapat turut membantu memastikan bahwa perkembangan teknologi didorong oleh pertimbangan etis dan kebutuhan masyarakat, bukan semata-mata oleh kemajuan teknologi. Misalnya, penelitian lintas disiplin dapat membantu mengidentifikasi potensi dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi dari teknologi baru dan mengembangkan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif.

Secara keseluruhan, penerapan pendekatan transdisipliner terhadap teknologi dapat menghasilkan inovasi teknologi yang lebih kuat, inklusif, dan bertanggung jawab.(vb/*)

Belantara Foundation Paparkan Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu pada Pertemuan Internasional di Semarang

March 21, 2023 by  
Filed under Daerah

Vivaborneo.com, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyelenggarakan pertemuan internasional dan pelatihan peningkatan kapasitas solusi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta dampak covid-19 terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Pertemuan ini bekerja sama dengan Komite Nasional Program MAB-UNESCO Indonesia-BRIN, UNESCO Jakarta Office, ICESCO, Balai Taman Nasional Karimunjawa Balai Taman Nasional Gunung Merapi dan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu untuk pemulihan ekonomi dan ekosistem di cagar biosfer mulai 14 Maret hingga 16 Maret 2023 di Semarang.

Pada kesempatan ini, Belantara Foundation diundang untuk memaparkan pembelajaran tentang kemitraan pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB), Riau kepada dunia internasional.

Belantara Foundation bermitra dengan pemangku kepentingan setempat dalam pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari sektor pemerintah, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang meliputi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, APP Sinarmas, Proforest, Earthworm, Winrock, Koalisi CORE dan WRI Indonesia. Setiap sektor memiliki peran pentingnya masing-masing yang berfokus pada program restorasi ekosistem, proteksi dan konservasi keanekaragaman hayati serta pemberdayaan masyarakat.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna menjelaskan sejak tahun 2020 hingga 2023, Belantara Foundation bersama pemangku kepentingan setempat telah merestorasi lahan gambut yang terdegradasi di kawasan Cagar Biosfer GSK-BB dengan menanam spesies pohon asli dan terancam punah. Hingga kini, total area yang telah direstorasi telah mencapai luasan 75 hektar.

Belantara Foundation juga mendukung LSM lokal untuk melestarikan gajah sumatra beserta habitatnya. Implementasi yang dilakukan yaitu membantu mengembangkan dan peningkatan kapasitas bagi enam kelompok masyarakat desa untuk memitigasi konflik manusia-gajah.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna memaparkan pembelajaran tentang kemitraan pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB), Riau pada pertemuan internasional di Semarang.

Selain itu juga membangun menara pemantauan, melakukan edukasi dan penyadartahuan di tujuh sekolah dasar yang berdampingan dengan habitat gajah, patroli mitigasi konflik manusia-gajah dengan luas area lebih kurang 88.000 hektar.

Tidak hanya itu, Belantara Foundation juga mendukung masyarakat lokal untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif. Dukungan tersebut berupa memberikan peningkatan kapasitas untuk budidaya madu dan budidaya ubi kayu, memasang 45 papan nama yang menginformasikan bahaya kebakaran hutan, larangan pembakaran hutan, dan larangan penebangan liar.

Di samping itu, Belantara Foundation juga mendukung dan mengembangkan Stasiun Penelitian Lahan Gambut Humus di Cagar Biosfer GSK-BB untuk penelitian jangka panjang tentang ekosistem lahan gambut dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Stasiun penelitian ini menyediakan fasilitas, infrastruktur, serta peningkatan kapasitas bagi mahasiswa, dosen, peneliti, praktisi, dan lainnya,” ujar Dolly, yang juga sebagai Ketua LPPM Universitas Pakuan.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Komite Nasional MAB UNESCO Indonesia-BRIN, Y. Purwanto menegaskan pengelolaan Cagar Biosfer GSK-BB harus dilakukan secara bersama-sama.

“Cagar Biosfer GSK-BB dapat menjadi sarana untuk melaksanakan komitmen bangsa Indonesia dalam melaksanakan berbagai konvensi terkait dengan lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim,” tegas Purwanto.

Sementara itu, Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Anang Setiawan Achmadi mengemukakan bahwa keberadaan Cagar Biosfer GSK-BB dirancang untuk menyelaraskan antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan sosial-ekonomi sekaligus melestarikan nilai-nilai budayanya.

Cagar biosfer adalah kawasan yang terdiri dari ekosistem unik, asli atau terdegradasi. Akan tetapi, keberadaannya dilindungi serta dilestarikan untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Salah satunya adalah Cagar Biosfer GSK-BB, Riau.

Cagar Biosfer GSK-BB merupakan cagar biosfer pertama di dunia yang diprakarsai dan dikelola bersama oleh sektor swasta dan publik. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh MAB-UNESCO pada tahun 2009.

Kawasan ini meliputi 705.271 hektar lahan gambut yang terbagi menjadi zona inti (25 persen), zona penyangga (32 persen), dan zona transisi (43 persen) di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak, Riau, Sumatra.

GSK-BB merupakan salah satu hutan gambut tropis terbesar di Sumatra yang memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mengubah gaya hidup masyarakat lokal ke arah penghidupan yang lestari dan berkelanjutan.

Di samping itu, kawasan ini juga merupakan habitat bagi satwa liar karismatik seperti harimau sumatra, gajah sumatra, beruang madu dan tapir. Namun, beberapa kawasan hutan pada lanskap ini telah terdegradasi karena kebakaran hutan dan kegiatan illegal lainnya.(*)

 

 

Belantara Foundation dan Fakultas Biologi UGM Gelar Kuliah Umum Biodiversitas Indonesia

March 15, 2023 by  
Filed under Lingkungan Hidup

Vivabornoo.com — Belantara Foundation dan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Kuliah Umum tentang Biodiversitas Indonesia di Auditorium Biologi Tropika, Fakultas Biologi UGM, Kamis (09/03/2023).

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna menjadi narasumber menyampaikan topik tentang pentingnya konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dan peluang karir yang dapat ditemukan pada bidang konservasi.

Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Alumni Fakultas Biologi UGM, Eko Agus Suyono dan dimoderatori oleh Pengajar Laboratorium Ekologi dan Konservasi Fakultas Biologi UGM, Akbar Reza.

Dolly mengatakan Indonesia merupakan negara mega biodiversitas, yaitu negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia sebagai rumah bagi 10 persen tumbuhan berbunga, 15 persen serangga, 25 persen ikan, 16 persen amfibia, 17 persen burung, dan 12 persen mamalia dari seluruh yang ada di dunia.

Indonesia memiliki sekitar 28.000 spesies tumbuhan berbunga (urutan ke-7 dunia), 122 spesies kupu-kupu sayap burung (urutan ke-1 dunia yang mana 44 persennya merupakan spesies endemik), 409 spesies amfibi (urutan ke-5 dunia), 755 spesies reptilia (urutan ke-3 dunia), 1.818 spesies burung (28 persen di antaranya  endemik) dan 776 spesies mamalia (36 persen di antaranya endemik).

“Keanekaragaman hayati Indonesia juga menghadapi berbagai ancaman, seperti degradasi habitat, hama dan penyakit, pencemaran, perburuan dan perdagangan flora dan satwa lair illegal, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya. Oleh karena itu, konservasi keanekaragaman hayati sangatlah penting untuk dilakukan segera dan mendesak guna menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati di Indonesia,” ujar, Dolly yang juga sebagai pengajar di Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan.

Dolly, yang juga Ketua LPPM Universitas Pakuan menjelaskan saat ini peluang karir di bidang konservasi sangat menjanjikan di Indonesia.

Hal ini ditandai dengan makin bertumbuhnya organisasi dan lembaga nirlaba yang berfokus pada bidang konservasi keanekaragaman hayati. Demikian juga dengan industri sektor swasta dan lembaga pemerintah, serta media lingkungan.

Sejak dua dekade lalu, perusahaan-perusahaan swasta mulai berlomba-lomba menunjukkan komitmen “hijau”, sehingga ini menjadi peluang yang amat besar bagi kita yang belajar ilmu biologi.  Dalam bidang konservasi, terdapat berbagai peluang karir seperti ahli valuasi dan asesmen nilai konservasi tinggi, manajer proyek konservasi, ahli kebijakan konservasi, dan lain sebagainya.

“Melalui kuliah umum Biodiversitas Indonesia ini, Belantara Foundation berharap mahasiswa sebagai generasi penerus dapat lebih memahami arti pentingnya konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dan peluang karir di bidang konservasi.

Selain itu, pengetahuan dan pembelajaran pada kuliah umum ini juga dapat menjadi inspirasi bagi para mahasiswa yang ingin berkarir di bidang konservasi,” tegas Dolly.

Sementara itu, Dekan Fakultas Biologi UGM, Budi Setiadi Daryono menyebutkan bahwa selalu membuka pintu seluas-luasnya untuk peluang kolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi, termasuk kesempatan untuk saling berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran melalui format kuliah umum. (*)

 

« Previous PageNext Page »